Jakarta (ANTARA News) - Ketua Umum Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU), KH Hasyim Muzadi, menyatakan, syariat Islam tak perlu diberlakukan di tingkat negara, namun cukup diamalkan oleh orang Islam. "Pada level masyarakat, silakan syariat dilaksanakan. Nonsense beragama tanpa menjalankan syariat. Tapi syariat tidak perlu diberlakukan di level negara," kata Hasyim dalam Dialog Islam dan Negara, di Jakarta, Kamis. Di dalam negara bangsa yang beragam seperti Indonesia, kata Hasyim, pemaksaan penerapan syariat Islam di tingkat negara justru akan menimbulkan persoalan yang bisa memecah keutuhan negara. Mengenai konsep totalitas Islam (kaffah) yang menjadi jargon kelompok Islam tertentu, Hasyim berpendapat totalitas dalam menjalankan ajaran Islam itu harus dilekatkan pada individu, bukan institusi. "Jadi, menurut saya, konsep kaffah itu cukup menyentuh orangnya, tidak perlu institusi, apalagi distempelkan pada negara," kata Hasyim yang menolak hadir pada Konferensi Khilafah Internasional yang akan digelar Hizbut Tahrir Indonesia di Jakarta, 12 Agustus mendatang. Sementara itu salah satu Ketua PP Muhammadiyah, Yunahar Ilyas, menyatakan bentuk negara republik yang dianut Indonesia sudah tepat dan tidak perlu dipersoalkan. "Secara normatif, bentuk terdekat negara yang diinginkan Islam itu republik, bukan kerajaan. Sekarang tinggal bagaimana mengisinya," katanya. Karena itu, tambah Yunahar, fokus gerakan Muhammadiyah bukanlah mewujudkan negara Islam, melainkan mewujudkan masyarakat Islam yang sebenar-benarnya. "Jadi lebih pada masyarakatnya, bukan negara," katanya. Ketua Komisi Fatwa Majelis Ulama Indonesia, KH Ma`ruf Amin, menilai gerakan yang mengupayakan penerapan syariat Islam di tingkat negara merupakan penyakit lama yang timbul kembali. "Dan ini karena ada provokasi dari luar. Baik gerakan sekuler maupun fundamentalis provokatornya dari luar, yang disebut Pak Hasyim Muzadi sebagai ideologi transnasional," katanya.Regulasi lokal Secara terpisah, cendekiawan Islam Azyumardi Azra menilai penerapan syariat Islam secara resmi oleh negara dinilai tidak tepat. Penerapan peraturan daerah (Perda) syariat justru akan mereduksi nilai Islam. Karena itu, Azyumardi menyebut syariat yang diterapkan dalam Perda tidak lebih dari sekedar regulasi lokal. "Syariat yang diterapkan dalam Perda, misalnya, itu bukan syariat, tetapi regulasi lokal," ujarnya saat peluncuran buku "Islam dan Negara Sekular: Menegosiasi Masa Depan Syariah". Azyumardi sepakat bahwa setiap Muslim harus mencintai syariat Islam dan menerapkannya pada kehidupan mereka, apalagi hasil survei menyebutkan mayoritas masyarakat Indonesia mendukung pelaksanaan syariat. Tetapi, ia menolak jika syariat diterapkan sebagai hukum positif oleh negara. Menurutnya, nilai-nilai syariat cukup diperkenalkan kepada negara sebagai salah satu sumber hukum dan itu sudah berjalan baik. Sudah banyak muamalah bagian dari syariat yang telah diadopsi oleh negara. "Muamalah mengenai perkawinan, misalnya, sudah lama diadopsi dalam hukum perkawinan Indonesia," kata mantan rektor UIN Syarif Hidayatullah Jakarta itu. Bagi Azyumardi, "Perda syariat" merupakan pemaksaan oleh penguasa lokal dan elit lokal yang justru tidak sesuai dengan nilai Islam itu sendiri. (*)
Copyright © ANTARA 2007