Canberra (ANTARA News) - Kondisi merosotnya jumlah pelajar Australia yang menguasai bahasa Asia, termasuk Indonesia, mungkin akan terperbaiki secara signifikan jika Partai Buruh Australia (ALP) yang menang dalam Pemilu 2007 dan Kevin Rudd menjadi Perdana Menteri menggantikan John Howard. "Mungkin akan ada perubahan kalau Partai Buruh Australia yang menang karena Kevin Rudd cenderung berpaling ke Asia dan akan lebih banyak memberikan anggaran untuk studi bahasa-bahasa Asia," kata Indonesianis senior Universitas Nasional Australia (ANU), Dr Greg Fealy, di Canberra, Kamis. Berbicara dengan ANTARA, Kompas, dan Republika dalam sebuah pertemuan di kampus universitas negeri terkemuka di Australia itu, dosen senior bidang politik Indonesia di Departemen Politik dan Perubahan Sosial ANU ini mengatakan, Pemimpin Oposisi Kevin Rudd dan ALP lebih sensitif terhadap masalah pengajaran bahasa-bahasa Asia di sekolah dan perguruan tinggi dibandingkan pemerintahan PM Howard yang berkuasa saat ini. Terlebih lagi, Kevin Rudd merupakan lulusan studi-studi Asia ANU yang pernah bertugas sebagai diplomat Australia di China dan ia dapat berbahasa Mandarin. ALP juga sudah menjanjikan anggaran sebesar 80 juta dolar Australia untuk mendukung studi bahasa-bahasa Asia, katanya. Dalam konteks hubungan Indonesia-Australia misalnya, belum ada satu pun Duta Besar Australia yang mampu berbahasa Indonesia sebaik mantan Duta Besar Inggris untuk Indonesia Richard Gozney, katanya. Sependapat dengan Fealy, Wakil Dekan Fakultas Studi-Studi Asia yang juga Kepala Pusat Asia Tenggara ANU, Dr.George Quinn, mengatakan, menurunnya jumlah pelajar Australia yang menguasai bahasa-bahasa penting Asia tidak dapat dilepaskan dari penghentian program nasional studi bahasa Asia di sekolah mulai sekitar 2003 oleh menteri pendidikan saat itu, Brendan Nelson (kini menteri pertahanan) "Program ini sebenarnya sudah ada sejak tahun 1990-an tapi distop Brendan Nelson atas alasan finansial," katanya. Alasan penutupan program tersebut adalah penghematan biaya kendati di balik alasan itu, mungkin ada "pendirian ideologis" karena program tersebut dianggap pemerintah yang berkuasa tidak sesuai dengan pemikiran mereka, kata Quinn yang menamatkan program kesarjanaannya dari UGM Yogyakarta itu. Akibatnya kalangan perguruan tinggi yang memiliki program studi bahasa dan studi Asia mengalami kekurangan mahasiswa, katanya. "Kita sempat beberapa kali melakukan pendekatan kepada Pemerintah Australia, tapi `kurang mendapat perhatian`," katanya dalam Bahasa Indonesia yang fasih. Quinn mengatakan, akibat kebijakan pemerintah yang tidak berpihak kepada pengajaran bahasa-bahasa Asia, termasuk Indonesia, ini, secara akumulatif, sejak 10 tahun terakhir, terjadi penurunan jumlah siswa dan banyak SMA di wilayah Canberra yang menutup kelas bahasa. Di antara perguruan tinggi di Australia juga ada yang terpaksa menutup studi-studi Indonesia karena kekurangan mahasiswa. Universitas Western Sydney dan Universitas James Cook termasuk di antara perguruan tinggi yang menutup studi-studi Indonesia.(*)
Editor: Ruslan Burhani
Copyright © ANTARA 2007