Jakarta (ANTARA News) - Kepala Badan Tenaga Nuklir Nasional (BATAN) Hudi Hastowo menyatakan pembangunan Pembangkit Listrik Tenaga Nuklir (PLTN) di Indonesia akan menjadi berat jika masyarakat menolak. Oleh karena itu, Hudi Hastowo meminta masyarakat mendukung pembangunan itu dan jika menolak harus lah disertai alasan ilmiah yang bisa dipertanggungjawabkan sehingga tidak terkesan asal menolak. "Kami meminta pihak yang menolak itu menolaklah secara ilmiah, jangan asal menolak saja, jadi benar-benar tahu apa yang ditolak," katanya kepada wartawan dalam jumpa pers tentang PLTN yang juga dihadiri Menristek Kusmayanto Kadiman dan Deputi bidang Perizinan dan Inspeksi Badan Pengawas Tenaga nuklir (Bapeten) Suhartono Zahir di Jakarta, Kamis. Soal keamanan PLTN, lanjut dia, berhubung kecelakaan PLTN adalah masalah global maka sejak jauh sebelum pembangunan PLTN lembaga-lembaga internasional telah ikut mengontrol termasuk dalam hal pemilihan tapak yang mensyaratkan 16 kriteria, termasuk dari segi vulkanologi, seismik dan kemungkinan banjir. "Sejak 1974 sudah dipilih 15 calon lokasi di Jawa, sebagian juga di selatan Jawa, tetapi karena tidak memenuhi persyaratan internasional, selatan Jawa diabaikan, lalu setelah `screening` berikutnya tinggalah lima lokasi, salah satunya Semenanjung Muria. Ada tiga calon tapak di sana, yang terpilih Ujung Lemah Abang. Tempat lain tak memenuhi syarat," katanya. Sementara itu Menristek Kusmayanto Kadiman mengatakan, pihaknya meminta agar semua pihak yang setuju atau tidak setuju terhadap PLTN, benar-benar mengetahui alasannya. "Kalau go terhadap nuklir kenapa? kalau not go juga kenapa? Ini harus yakin dulu," katanya. Saat ini, ujarnya, pasokan energi listrik didominasi minyak bumi, kita ingin mengganti dengan batubara dan gas serta sumber-sumber alternatif lainnya, termasuk dari energi nuklir. Pembangkit Listrik Tenaga Nuklir, lanjut dia, adalah pembangkit listrik yang termurah dan hanya bisa ditandingi dengan PLTU Batubara di mulut tambang yang harga output listriknya sekitar 3,6-4 sen dollar per kWh. "Sedangkan PLT batubara yang tidak di mulut tambang harganya tinggi, misalnya di Indonesia yang rakus listrik adalah Jawa, Bali dan Madura, padahal batubara diambil dari Kalimantan atau Sumatera sehingga dengan hitungan ongkos harganya menjadi di atas lima sen dollar per kWh," katanya. Sedangkan dibandingkan dengan energi alternatif seperti surya yang harganya masih 15 sen dollar per kWh atau angin yang malahan Rp2.000 per kWh maka nuklir tetap yang termurah, katanya. Dalam kesempatan itu, Kusmayanto juga mengungkapkan, untuk kepentingan PLTN ini pemerintah telah mengalokasikan dana sosialisasi Rp5 miliar dari APBN ditambah hampir Rp2 miliar dari dukungan internasional seperti KOICA (Korea) dan JETRO (Jepang). Kegiatan yang dibiayai dana tersebut antara lain studi banding ke Korea dan Jepang, penulisan buku suplemen untuk sekolah dari tingkat SD hingga SMU, pembuatan modul, serta sosialisasi untuk masyarakat di Jepara, Pati, Kudus, Malang, Madura dan Bali. Pada saat ini, ujarnya, sedang dilakukan studi banding ke Korsel dan Jepang yang pesertanya antara lain tokoh masyarakat, tokoh agama baik Islam maupun non Muslim, wartawan, organisasi massa dan LSM. "Mereka dipertemukan tidak saja dengan pihak yang pro nuklir tetapi juga pihak yang anti nuklir," katanya. (*)
Editor: Suryanto
Copyright © ANTARA 2007