Jakarta (Antara News) - Indonesia dengan potensi alam yang melimpah menjadi salah satu negara penghasil CPO dan batubara terbesar di dunia. Berdasarkan data World Top Exports di Tahun 2016, Indonesia menjadi negara pengekspor CPO terbesar di dunia dengan mencatat 51,7% dari total ekspor CPO dan menjadi negara ekspor batubara terbesar kedua setelah Australia dengan mencatat 17,4% dari total ekspor batubara. Potensi yang melimpah ini sayangnya tidak dikelola secara optimal. Pada bisnis pengangkutan batubara misalnya, sekitar 98% kegiatan ekspor dilakukan menggunakan ;kapal berbendera asing, sedangkan kapal Indonesia hanya memiliki kontribusi 2%. Di sisi lain terdapat biaya logistik ekspor impor sebesar Rp 2,400 Triliun per tahun yang masih dinikmati kapal asing.
Pemerintah melalui Kementerian Perdagangan menerbitkan Permendag 82/2017 tanggal 26 Oktober 2017 yang mengatur ketentuan penggunaan angkutan laut dan asuransi nasional untuk ekspor dan impor barang tertentu yang diantaranya adalah CPO dan batubara. Permendag 82/2017 Pasal 3(1) menyebutkan bahwa para eksportir yang melakukan ekspor batubara dan/atau CPO wajib menggunakan angkutan laut yang dikuasai oleh perusahaan angkutan laut nasional. Pada Pasal 4(1), disebutkan bahwa eksportir dalam mengasuransikan barang ekspor sebagaimana dimaksud dalam pasal 3 ayat (1) wajib menggunakan asuransi dari perusahaan perasuransian nasional.
Munculnya Permendag 82/2017 memberikan potensi bisnis yang sangat besar bagi industri angkutan laut dan industri asuransi. Seperti diketahui sebelumnya, terdapat biaya logistik Rp 2,400 Triliun yang masih dinikmati pihak asing. Pemerintah telah membuka jalan bagi industri angkutan laut dan industri asuransi dalam negeri melalui permendag ini untuk meraup bisnis sebesar–besarnya di dalam negeri. Dengan demikian, yang harus menjadi perhatian sekarang adalah apakah industri angkutan laut dan industri asuransi nasional sudah siap?
Terdapat tantangan yang tak mudah bagi industri angkutan laut dan industri asuransi nasional. Kaitannya dengan angkutan laut, ketersediaan kapal dalam negeri yang mampu melayani pengakutan ekspor CPO dan batubara tidaklah banyak. Berdasarkan data dari INSA, jumlah kapal Nasional yang saat ini berperan dalam pengangkutan batubara hanya 72 kapal yang terdiri dari 10 kapal Bulk Carrier dan 62 Kapal Tug Barge, angka itu hanya sebesar 2% dari jumlah ribuan kapal milik asing yang dipakai untuk kegiatan ekspor tersebut. Artinya, industri angkutan laut nasional perlu menyiapkan kapal-kapal nasional berkualitas yang tak kalah dari kualitas kapal asing dan mampu memenuhi seluruh kebutuhan pengangkutan ekspor CPO dan batubara.
Kemenhub sebenarnya telah mengupayakan peningkatan kualitas dan keselamatan pelayaran untuk kapal berbendera Indonesia. Hasilnya pun cukup memuaskan, dari 197 kapal yang diperiksa, hanya 17 kapal yang ditahan oleh Port State Control Officer (PSCO) di negara-negara anggota Tokyo MoU pada tahun 2017. Jumlah ini menurun jika dibandingkan pada tahun-tahun sebelumnya yang mencatat 17 kapal tertahan di tahun 2016 dan 24 kapal di tahun 2015. Penahanan kapal umumnya disebabkan karena tidak lengkapnya alat navigasi, alat keselamatan dan tidak memadainya fasilitas ABK. (Bisnis Indonesia edisi 6/2/2018). Para stakeholders, baik dari industri perkapalan, industri angkutan laut, biro klasifikasi maupun departemen jenderal perhubungan laut wajib bersama-sama meningkatkan kualitas kapal dari segi keselamatan, kelayakan dan perlengkapan kapal.
Bagaimana dengan Industri Asuransi? Industri asuransi berperan besar dalam memberikan proteksi terhadap berjalannya kegiatan ekspor CPO dan batubara. Terdapat dua lini bisnis asuransi yang secara langsung merasakan efek dari berlakunya permendag ini, yaitu asuransi marine hull dan marine cargo. Kedua asuransi ini saling terkait, marine hull memproteksi risiko kerugian dari kapal, sedangkan marine cargo memproteksi risiko kerugian dari muatannya.
Saat ini marine hull sedang mengalami kondisi yang sulit. Pada tahun 2017, loss ratio asuransi marine hull tercatat mencapai 81.5%, naik 9.8% dari tahun sebelumnya (Sumber data AAUI). Berdasarkan data IndonesiaRe, tipe kapal yang mendominasi klaim berasal dari tipe Tug, Barge, General Cargo, Motor Tanker dan LCT. Dari sisi severity, kapal General Cargo masih mendominasi dengan 25%, Barge sebesar 23% dan Bulk Carrier sebesar 22%. Akan tetapi dari sisi frekuensi, kapal Barge mendominasi terjadinya klaim yang mencapai persentase 47%. Tingginya loss ratio salah satunya disinyalir diakibatkan oleh ketidakcukupan premi dalam bisnis marine hull. Hal ini diperburuk lagi dengan terjadinya penurunan rate premi dari tahun ke tahun mengikuti tingkat persaingan yang semakin kompetitif. Pada tahun 2012 misalnya, rate premi marine hull sebesar 0.88% turun sebesar 44% pada tahun 2017.
Bagaimana dengan asuransi Marine Cargo? Pengangkutan CPO dan batubara bukan merupakan market baru bagi industri asuransi marine cargo. Resiko pada domestic shipment untuk pengangkutan batubara cukup mengkhawatirkan. Rata-rata loss ratio pengangkutan batubara selama tiga tahun terakhir sangat tinggi, mencapai 150% (Sumber data: Indonesia Re). Sementara untuk CPO, data yang dimiliki belumlah cukup untuk menggambarkan bagaimana kondisi loss ratio pengangkutan CPO.
Beberapa faktor yang mempengaruhi besarnya risiko marine cargo adalah rute pengangkutan, kesesuaian kapal dengan kargo, kualitas kapal, cara penyimpanan kargo, sifat kargo, luas jaminan serta rate premi. Namun yang paling menjadi perhatian utama perusahaan asuransi adalah kualitas kapal serta rate premi. Kualitas kapal pengangkut mempengaruhi tingkat risiko pengangkutan kargo itu sendiri. Sedangkan rate premi di market asuransi yang begitu kompetitif dan tidak sesuai dengan tingkat risikonya semakin memperburuk kondisi portofolio bisnis. Artinya, kedua hal inilah yang perlu dibenahi oleh stakeholders baik industri perkapalan, asuransi dan pengangkutan agar Permendag 82/2017 dapat terimplementasikan sesuai dengan ekspektasi. Selain kedua hal tersebut, hal lain yang perlu menjadi fokus pembenahan adalah kontrak transaksi penjualan.
Berlakunya Permendag 82/2017 tidak secara penuh akan menutup pintu bagi industri asuransi asing dalam asuransi marine cargo ekspor CPO dan batubara jika tidak dibarengi oleh suatu regulasi yang mewajibkan transaksi penjualan ekspor CPO dan batubara secara CIF. Mengapa CIF? Karena dalam CIF terdapat suatu kewajiban bagi penjual/eksportir untuk membeli asuransi marine cargo. Sehingga, penjual/eksportir CPO dan batubara Indonesia akan membeli asuransi marine cargo dari perusahaan asuransi dalam negeri. Sayangnya, legitimasi CIF sampai saat ini belum terealisasi. Akibatnya, kontrak transaksi penjualan barang seringkali masih menerapkan transaksi penjualan FOB yang tidak mewajibkan penjual/eksportir CPO dan batubara untuk membeli asuransi. Mengingat pentingnya penerapan CIF, maka seharusnya penerapan CIF turut diatur dalam permendag baik melalui amandemen Permendag 82/2017 maupun perumusan permendag baru.
Implementasi Permendag 82/2017 ibarat menebarkan ikan di dalam tambak. Akan terdapat suatu permintaan yang besar dari para penjual/eksportir untuk membeli asuransi nasional. Namun tingginya permintaan ini, menurut penulis akan menimbulkan suatu persaingan yang kurang sehat di dalam penentuan rate premi. Oleh karena itu, munculnya permintaan yang besar sebagai dampak dari implementasi Permendag 82/2017 harus disikapi dengan bijak oleh para pelaku industri asuransi nasional agar kompetisi rate yang tidak sehat dapat dicegah.
Segala tantangan dan masalah di atas harus segera diselesaikan terlebih dahulu. Dengan demikian, potensi bisnis yang ada dari berlakunya Permendag 82/2017 dapat dioptimalkan oleh para stakeholders dalam negeri. Tantangan dalam industri angkutan laut nasional untuk menyediakan jumlah armada yang besar dan berkualitas baik bukanlah suatu perkara yang mudah. Kebutuhan modal yang besar dan perhitungan matang untuk memproyeksikan keuntungan menjadikan penyediaan kapal nasional untuk kebutuhan ekspor tidak dapat dilakukan secepat mitos Bandung Bondowoso ketika membangun 1000 candi dalam semalam.
Salah satu langkah yang dapat diambil untuk menyukseskan implementasi Permendag 82/2017 adalah membentuk konsorsium internasional antara industri angkutan laut dalam negeri dan luar negeri. Konsorsium ini akan mengakomodir kepentingan seluruh pihak baik pemerintah maupun pelaku industri angkutan laut terutama nasional agar masalah ketersediaan kapal dan kualitas kapal dalam pengangkutan ekspor CPO dan batubara dapat diatasi. Konsorsium ini dapat ditinjau kembali ketika industri perkapalan nasional telah memiliki jumlah kapal yang cukup dan sesuai dengan standar pelayaran internasional.
Seperti halnya pada industri angkutan laut, kerjasama pelaku industri asuransi dalam bentuk konsorsium industri asuransi nasional merupakan suatu langkah yang juga perlu dilakukan untuk secara bersama-sama mengambil langkah mengatasi tingginya Loss Ratio dan kompetisi yang kurang sehat dalam menetapkan rate premi. Kedua konsorsium ini perlu didorong oleh pemerintah agar stabilitas dan keberlanjutan pengangkutan CPO dan batubara serta pelayanan asuransi dapat berjalan dengan baik dan melindungi semua stakeholders.
Sinergi seluruh stakeholders seperti pemerintah, industri angkutan laut, industri asuransi, industri perkapalan, industri kelapa sawit, industri batu bara, pihak eksportir dan pihak terkait lainnya dalam penerapan Permendag 82/2017 harapannya dapat memberikan dampak pada peningkatan devisa negara secara signifikan melalui ekspor CPO dan batubara. Pasal 33 ayat 3 UUD 1945 berbunyi bahwa bumi, air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat. Sehingga, sudah sepatutnya kita mampu untuk berperan besar dalam bisnis di tanah sendiri. (Adv)
Pewarta: PR Wire
Editor: PR Wire
Copyright © ANTARA 2018