Yogyakarta (ANTARA News) - Pakar ekonomi Universitas Gadjah Mada (UGM), Dr. Sri Adiningsih, mengatakan tidak ada jaminan bagi Indonesia akan terhindar dari krisis ekonomi, meskipun telah berhasil mengatasi krisis yang terjadi sepuluh tahun yang lalu. "Krisis ekonomi bisa datang dan pergi, negara yang bisa keluar dari krisis bisa saja mengalami krisis kembali," katanya kepada ANTARA di Yogyakarta, Kamis. Ia mengemukakan pasca-krisis ekonomi sepuluh tahun lalu, Indonesia pernah mangalami 'krisis mini' di pasar valas pada Agustus 2005, hal itu menunjukkan Indonesia memiliki peluang untuk mengalami krisis lagi. Biaya yang diakibatkan oleh terjadinya krisis ekonomi yang melanda Indonesia sangat mahal, sampai sekarang saja utang negara yang dianggarkan dibayar dengan alokasi APBN masih belum tuntas. Begitu juga dampak krisis berupa kemiskinan dan pengangguran masih sangat terasa hingga sekarang. "Yang bisa diambil pelajaran dari krisis ekonomi beberapa tahun lalu adalah kenyataan bahwa Indonesia tidak bisa dengan cepat mengatasi krisis yang terjadi," katanya. Sehingga ketika ekonomi pulih, kata dia, kondisi perekonomian tidak bisa lebih baik dari pada sebelum krisis, pertumbuhan ekonomi yang dicapai lebih rendah dari masa sebelum krisis. Menurut dia, reformasi ekonomi yang dilakukan oleh pemerintah juga tidak serta merta mengatasi terpuruknya perekonomian rakyat. Indonesia justru terjebak pada pertumbuhan ekonomi yang timpang. Ketimpangan tersebut terjadi antara sektor riil dan keuangan serta ketimpangan pada sektor jasa dan manufaktur. Selain itu, investasi masih tumbuh rendah, pada masa sebelum krisis ekonomi investasi dan manufaktur bisa tumbuh dengan angka mencapai dua digit. "Namun saat ini yang tumbuh tinggi justru sektor jasa telekomunikasi dan transportasi," katanya. Pergeseran juga terjadi pada sektor manufaktur yang lebih mengarah pada sektor perdagangan, terutama karena banyaknya barang impor yang membanjiri pasar dalam negeri. Menurut dia, Indonesia belum mengalami kebangkitan dari keterpurukan yang diakibatkan oleh krisis ekonomi sepuluh tahun yang lalu. Kalau mau bangkit lagi, investasi harus tumbuh dengan angka mencapai dua digit dan pertumbuhan ekonomi harus didorong hingga mencapai sekitar 30 persen. "Namun yang terjadi saat ini investasi justru lebih rendah jika dibandingkan dengan `saving`, sehingga neraca berjalan menjadi surplus, berbeda dengan masa sebelum krisis di mana investasi lebih besar dari pada `saving`," kata Adiningsih. (*)
Copyright © ANTARA 2007