Jakarta (ANTARA News) - Suku Bunga Bank Indonesia (BI Rate) yang saat ini berada pada level 8,25 persen perlu segera diturunkan lebih lanjut untuk memacu pertumbuhan kredit ke sektor riil, kata Direktur Usaha Mikro, Kecil dan Memengah (UMKM) BRI, Abdul Salam .
"BI Rate saat ini masih relatif tinggi, dan menjadi salah satu kendala bagi penyaluran kredit perbankan ke sektor riil," ujarnya dalam forum diskusi Pusat Pendidikan dan Studi Kebanksentralan ke-3 di Jakarta, Rabu.
Menurut dia, ketika BI Rate 2004 berada di bawah 8 persen, pertumbuhan kredit tahun 2004 mencapai rekor tertinggi sebesar 27,01 persen, sedangkan tahun 2006 dimana BI rate berada di atas delapan persen pertumbuhan kredit hanya 13,89 persen.
Ia mengatakan, sebaiknya BI Rate lebih dekat dengan tingkat inflasi yang terjadi saat ini. "BI Rate saat ini 8,25 persen masih jauh di atas angka inflasi target BI sekitar enam persen plus minus satu, yang pencapaiannya hingga Juli 5,77 persen," katanya.
Selain masih tingginya BI Rate, ia mengatakan bahwa kendala penyaluran kredit saat ini karena resiko bisnis dinilai masih tinggi sehingga banyak perbankan sangat berhati-hati.
"Tingginya resiko tersebut terlihat dari masih tingginya suku bunga kredit yang di atas 12 persen, padahal suku bunga dana telah turun menjadi sekitar tujuh persen," katanya.
Ia menilai tingginya resiko tersebut juga akibat kepastian hukum yang masih rendah, dan masih banyaknya pungutan liar yang terjadi dalam dunia ekonomi Indonesia.
Pengamat Ekonomi asal UGM A Tony Prasentyono yang juga ekonom Bank BNI menyatakan BI harus lebih berani untuk melanjutkan penurunan BI Rate menjadi 8,0 persen tanpa menunggu sampai akhir tahun untuk mendorong ekspansi kredit perbankan.
Ia mengatakan kebaijkan tersebut mungkin akan berakibat pada kenaikan jumlah uang beredar yang memicu inflasi. "Namun Hal itu tak terhindari, sebagai sebuah mekanisme koreksi biasa, yang sesekali diperlukan.
Sementara itu Deputi Senior Bank Indonesia Miranda S Goeltom mengatakan masih lambatnya kredit perbankan dapat dilihat dari rasio kredit terhadap dana pihak ketiga (LDR) yang saat ini masih rendah.
Pada tahun sebelum krisis, menurut dia LDR mencapai 100 persen, namun di akhir tahun 2006 ini menjadi 64,7 persen dan pada akhir Mei 2007 hanya naik sedikit menjadi 65,8 persen.
Selain itu "undisbursed loan" (UL/pinjaman yang belum tercairkan) selama triwulan II 2007 naik Rp6,9 triliun sehingga pada akhir triwulan II 2007 mencapai sekitar Rp172 triliun atau 20 persen dari total kredit perbankan.
"Kenaikan UL secara signifikan terjadi pada kredit modal kerja, yang mencapai Rp4,3 triliun, yang menjadikan pangsa UL selama triwulan II 2007 masih tetap didominasi kredit modal kerja, yaitu 70,7 persen," jelasnya.
Menurut dia, kalau saja UL tidak terjadi maka pertumbuhan ekonomi akan jauh lebih cepat sehingga kesempatan kerja dan lapangan kerja akan lebih tinggi. (*)
Editor: Priyambodo RH
Copyright © ANTARA 2007