Sidoarjo (ANTARA News) - Emha Ainun Nadjib (Cak Nun) memimpin prosesi sumpah untuk 2.300 warga korban lumpur dari proyek PT Lapindo Brantas Inc. yang tidak memiliki bukti kepemilikan lahan dan bangunan rumah mereka yang terendam lumpur di Pendopo Kabupaten Sidoarjo, Jawa Timur (Jatim), Rabu. Pengambilan sumpah di pendopo kabupaten itu dilakukan oleh petugas Kantor Wilayah Departemen Agama (Kanwil Depag) Jatim disaksikan Bupati Sidoarjo, Win Hendrarso, Ketua Badan Penanggulangan Lumpur Sidoarjo (BPLS), Sunarso, serta perwakilan PT Minarak Lapindo Jaya (PT MLJ), Bambang P. Widodo. Ribuan warga tersebut disumpah sesuai dengan agama dan kepercayaan masing-masing. Setelah ribuan warga disumpah, menurut rencana warga lain yang juga tidak bisa menunjukkan bukti kepemilikan luasan lahan dan bangunan rumah mereka dalam bentuk Izin Mendirikan Bangunan (IMB) juga akan mendapatkan giliran untuk disumpah. Tim Pelaksana Verifikasi rencananya akan menyumpah warga korban lumpur sebanyak 500 orang setiap hari. "Mengingat jumlah warga yang disumpah sangat banyak, tim verifikasi akan menyesuaikan jadwal penyumpahan yang telah disiapkan," kata Ketua Pelaksanan Tim Verifikasi, Yusuf Purnama SH. Cak Nun yang hadir didampingi istrinya, Novia Kolopaking, beserta rombongan kelompok musik Kyai Kanjeng dari Yogyakarta memimpin prosesi sumpah tersebut. Sebelum sumpah dimulai, Cak Nun mengajak warga yang beragama Islam untuk bersama-sama membaca Shalawat Nabi Muhammad SAW, surat Yasin dan doa Nabi Yunus. "Warga saat ini seperti Nabi Yunus yang sedang masuk dalam perut ikan paus, tapi warga korban lumpur saat ini masuk ke dalam perut lumpur," kata Cak Nun. Ia menambahkan, prosesi sumpah yang dilakukan oleh warga korban lumpur itu dilakukan untuk menggugah hati nurani warga dengan menyatakan luasan lahan dan bangunan milik mereka dengan jujur dan benar. Oleh karena itu, ia menilai, perdebatan antara warga korban lumpur dengan pihak Minarak Lapindo Jaya selaku pihak pembayar atas ganti rugi dalam proses penentuan luasan lahan dan bangunan warga tidak menemui titik temu. "Ini semua untuk kelancaran, dengan pertimbangan untuk mencari solusi ketika silang pendapat tentang perbedaan penetapan luasan bangunan yang tidak kunjung usai. Sebab, aturan normatif dan administrasi dinilai tidak bisa menjangkau. Untuk itu, sumpah adalah upaya terakhir untuk mencari kebenaran," ujar Cak Nun. Ia menerangkan, jika sumpah itu sudah dilakukan oleh semua warga, kejujuran menjadi dalih terakhir. Jaminannya, menurut Cak Nun, hanya terletak pada Allah SWT. "Seperti ayat-ayat suci yang kami kumandangkan tadi bahwa itu semua berlaku untuk semua warga yang menjadi korban lumpur," katanya. Selain warga korban lumpur melakukan sumpah di pendopo kabupaten, PT Minarak Lapindo Jaya yang diwakili Bambang P. Widodo juga menyatakan kesanggupannya membayar ganti rugi sesuai apa yang diajukan warga korban lumpur. "Apa yang disampaikan Minarak itu juga merupakan sumpah, dan kewajibannya adalah dari batin dan substansinya," kata Cak Nun. Ia menambahkan, dalam proses mendampingi perjuangan warga korban lumpur, dirinya akan tetap mendampingi warga korban lumpur untuk memperjuangkan hak-hak mereka. Sebab, mundur atau tidak dalam mendampingi warga korban lumpiur, itu semua diserahkan kepada Allah SWT. "Saya ini tidak tahu posisinya ada di mana, tapi yang jelas saya berada di semua pihak, karena saya tidak berpihak pada siapa-siapa. Tapi, saya bersama teman-teman akan terus berjuang sampai terwujud 100 persen pembayarannya," terangnya. Sementara bagi Bupati Sidoarjo Drs. Win Hendrarso, sumpah yang dilakukan oleh warga merupakan proses spiritual yang mengandung arti sakral dan sangat dalam. "Jadi jika mengingkari sumpah, sama saja dengan men-dzolimi yang lainnya dan adzab Allah SWT akan memurkainya," terang Bupati Win. Ia juga menambahkan, kejujuran atas pernyataan luasan lahan dan bangunan warga korban lumpur menjadi taruhan dirinya. Sebab, jika apa yang dinyatakan oleh warga korban lumpur terkait dengan benar tidaknya luasan tersebut, secara tidak langsung akan berdampak pada Bupati Win selaku kepala daerah yang memberikan legitimasi tanda tangan pengesahan. "Jadi kalau bapak-bapak jujur, bupati yang melegalkan surat juga ikut jujur. Namun sebaliknya, jika bapak-bapak tidak jujur maka bupati juga ikut tidak jujur," tambahnya. Pengambilan sumpah ini merupakan terobosan di luar mekanisme hukum untuk menjembatani kebuntuan perundingan antara PT. MLJ dengan warga korban lumpur. Selama ini PT. MLJ bersikeras berpedoman pada Perpres 14 / 2007 tentang BPLS, dimana acuan luasan bangunan yang diganti rugi adalah IMB. Jika tidak memiliki IMB maka acuan alternatifnya adalah survey dari ITS. Namun, bila tidak tercover oleh survey ITS, maka luasan bangunannya mengacu pada kenyataan warga yang disahkan oleh Camat dan Kepala Desa masing-masing. Dalam pelaksanaan di lapangan, tampaknya banyak terjadi kerumitan, misalnya untuk warga Perum TAS 1 yang rumahnya sudah direnovasi, tetap minta luasan renovasinya diganti rugi. Padahal luasan renovasi itu tidak ada dalam IMB. Ada juga rumah yang tidak memiliki IMB dan luasan bangunan hanya berdasarkan pernyataan warga saja. Untuk mengatasi kebuntuan ini, akhirnya dilontarkanlah ide pengambilan sumpah sebagai penguat pernyataan warga, dimana warga yang akan mempertanggungjawabkan kebenaran sumpah tersebut kepada Tuhan YME. (*)

Pewarta:
Editor: Priyambodo RH
Copyright © ANTARA 2007