Bandarlampung (ANTARA News)- Lembaga Ketahanan Nasional (Lemhannas) belum lama ini telah memberikan "peringatan awal" berupa kajian lembaga itu kepada pemerintah tentang pendirian partai lokal yang menggunakan atribut, lambang, bendera dan nama GAM. Bukan hanya dari Lemhannas, pembentukan partai lokal GAM itu juga mendapatkan respon keras dari berbagai kalangan lainnya di dalam negeri, terlebih para pendirinya adalah kelompok yang dulunya adalah anggota atau tokoh Gerakan Aceh Merdeka (GAM). Tanggapan keras atas pendirian partai GAM itu tentunya datang dari pihak militer maupun para sesepuh TNI, di antaranya adalah Kapuspen TNI dan mantan Kasum TNI Letjen (Purn) Suaidy Marasabessy. TNI, sebagaimana disebutkan Kapuspen TNI Marsda Sagom Tamboen, tetap mewaspadai bangkitnya kelompok separatis melalui pembentukan partai GAM. "Sampai kapan pun GAM itu, merupakan kepanjangan dari `Gerakan Aceh Merdeka`, yang sempat melakukan pemberontakan bersenjata pada masa lalu," kata Kapuspen. Disebutkannya, pembentukan partai GAM itu bisa dijadikan jalan untuk memuluskan para mantan GAM melepaskan diri. Jika Lemhannas mengkhawatirkan pendirian patai GAM itu merupakan langkah awal menuju referendum atau jajak pendapat sebagaimana pernah diterapkan di Timtim, TNI meyakini partai GAM itu tetap penjelmaan dari Gerakan Aceh Merdeka (GAM). Berbagai kalangan lainnya juga menyebutkan langkah menuju referendum itu bukan hal yang tidak mendasar, apalagi para mantan tokoh GAM telah menguasai pemerintahan dan sektor perekonomian. Selain pasangan Irwandi Yusuf- M Nazar sebagai Gubernur dan Wagub NAD, sebanyak 10 dari 21 kabupaten lainnya di Aceh dipimpin para mantan GAM. Tentangan terhadap pembentukan partai GAM itu juga bermunculan dari para sesepuh TNI, di antaranya adalah mantan Kasum TNI, Letjen (Purn) Suaidy Marasabessy. Menurut salah satu pendiri Partai Hanura pimpinan mantan Menhankam/Pangab Jenderal (Purn) Wiranto itu, pembentukan Partai GAM dapat menjadi sumber motivasi dan inspirasi untuk membangkitkan kembali keinginan merdeka, sehingga Departemen Hukum dan HAM harus menolak penggunaan nama tersebut saat dilaksanakan verifikasi. Bila kehadiran partai lokal dapat menumbuhkan kembali keinginan untuk merdeka, itu merupakan sesuatu yang harus diantisipasi karena berlawanan dengan substansi kepakatan damai Helsinki. Itulah yang muncul ketika GAM digunakan sebagai nama partai, apakah GAM sebagai sebuah akronim atau hanya sebuah nama baru tetap dapat sebagai sumber motivasi dan inspirasi untuk membangkitkan kembali keinginan merdeka. Mantan Kasum TNI itu mengatakan, pembentukan partai lokal memang sesuatu yang boleh ada di NAD sebagaimana disepakati dalam perjanjian Helsinki, dan itu merupakan suatu toleransi yang sangat besar diberikan oleh negara. Karena itu, ia mengharapkan pemerintah menolak dengan tegas saat dilaksanakan verifikasi atas partai lokal yang menggunakan nama GAM itu, apalagi dengan memakai simbol, atribut dan bendera GAM. Klarifikasi Keberadaan partai lokal di Aceh, termasuk partai GAM, memang masih menunggu hasil klarifikasi oleh Kantor Departemen Hukum dan HAM. Sah tidaknya partai itu tentu berdasarkan hasil klarifikasi tersebut. Wagub NAD, M Nazar, juga mengatakan sah tidaknya partai lokal, Partai GAM dan Partai Gabthat, berdasarkan hasil klarifikasi tersebut. Kedua partai lokal itu telah menyerahkan akta notaris kepada Kanwil Depkum HAM NAD. Sebagaimana ketetapan dalam UU No 11 tahun 2006 tentang Pemerintah Aceh dan PP No 20/2007 tentang Pembentukan Partai Lokal, partai- partai lokal harus melalui mekanisme verifikasi. Berdasarkan Nota Kesepahaman Helsinki, disusunlan UU No 11 tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh, sementara pengaturan partai lokal yang lebih rinci diatur dalam PP No 20 tahun 2007. Syarat pembentukan partai lokal untuk dapat didaftarkan dan disahkan sebagai badan hukum harus memenuhi sejumlah syarat, yakni dididirikan sekurang-kurangnya 50 orang WNI berusia 21 tahun ke atas dan telah berdomisili tetap di Aceh dengan memperhatikan keterwakilan perempuan sekurang-kurangnya 30 persen; memiliki akte notaris yang memuat AD/ART dengan struktur kepengurusannya; serta berkedudukan di ibukota Aceh. Selain itu adalah memiliki nama, lambang dan tanda gambar yang tidak mempunyai persamaan pada pokoknya atau keseluruhan dengan nama, lambang dan tanda gambar parpol dan partai politik lokal lainnya; memiliki kantor tetap; serta memiliki kepengurusan sekurang- kurangnya 50 persen di kabupaten/kota dan 25 persen dari jumlah kecamatan pada setiap kabupaten/kota yang bersangkutan. Partai lokal yang telah memenuhi persyaratan itu kemudian harus didaftarkan dan disahkan sebagai badan hukum kepada Kanwil Departemen Hukum dan HAM. Dalam UU No 11 tahun 2006 itu disebutkan dengan tegas bahwa asas partai lokal tidak boleh bertentangan dengan Pancasila dan UUD 1945. Bahkan dalam pasal 81 diatur kewajiban partai lokal, di antaranya adalah mengamalkan Pancasila; melaksanakan UUD 1945 dan peraturan perundangan lainnya; mempertahankan keutuhan NKRI; berpartisipasi membangun Aceh; menjunjung supremasi hukum; dan melakukan pendidikan politik. Partai lokal itu memiliki sejumlah hak, di antaranya adalah mengusulkan pasangan calon gubernur dan wakil gubernur, calon bupati dan wakil bupati, serta calon walikota dan wakil walikota di Aceh. Partai GAM yang terdiri atas unsur Komite Peralihan Aceh (KPA) memang telah membuka kantor sekretariat di ibukota provinsi NAD, yakni Banda Aceh, pada Minggu (7/7), namun penggunaan bendera GAM sebagai lambang partai telah bertentangan dengan kesepakatan damai Helsinki. Pihak partai GAM membantah pemakaian bendera sebagai lambang partai bertentangan dengan MoU Helsinki karena bendera bukan merupakan lambang militer. Meski demikian, jurubicara KPA, Ibrahim bin Syamsudidin, mengatakan bahwa pihaknya belum membicarakan langkah selanjutnya apabila Kanwil Departemen Hukum dan HAM menolak keberadaan partai tersebut. Nasib partai GAM sekarang berada di tangan Departemen Hukum dan HAM, dan para analisis politik meminta berbagai kalangan, terutama pemerintah, untuk menyikapi pembentukan partai lokal itu secara arif dan tidak berlebihan. Menurut analisa politik Direktur Eksekutif The Indonesian Institute, Jeffrie Geovanie, persoalan politik di Aceh harus dilihat secara komprehensif, dan seharusnya tidak diselesaikan melalui pernyataan-pernyataan terbuka, karena jauh lebih baik jika persoalan diselesaikan secara kekeluargaan. Di kalangan GAM lokal di Aceh memang terdapat faksi-faksi antara yang tetap menginginkan Aceh sebagai bagian NKRI dan yang ingin melepaskan diri. Dalam Pilkada Gubernur NAD lalu, GAM lokal yang mendukung pasangan Irwandi Yusuf- Muhammad Nazar mengalahkan pasangan Ahmad Humam Hamid- Hasbi Abdullah yang diusung GAM atas dukungan internasional. Sikap tidak berlebihan dibutuhkan menyikapi pendirian partai GAM itu agar faksi- faksi GAM lokal itu tidak lagi memandang pemerintah pusat sebagai musuh bersama, sementara itu masih ada tahapan verifikasi yang harus ditempuh dalam pendirian parpol lokal. Dalam proses verifikasi itulah bisa dipertanyakan kepada pendiri partai itu kenapa menggunakan nama GAM dengan menggunakan bendera, atribut dan lambang yang identik dengan GAM, padahal keberaaan GAM itu sudah disepakati bersama untuk dibubarkan sebagaimana tercantum dalam Nota Kesepahaman (MoU) Helsinki.(*)
Oleh Oleh Hisar Sitanggang
Editor: Ruslan Burhani
Copyright © ANTARA 2007