Pendekatan adat dalam strategi perencanaan pembangunan ditujukan untuk memenuhi kebutuhan berbagai program pembangunan bagi masyarakat asli orang Papua.
Kebijakan ini dinilai tepat karena basis terbesar keberadaan penduduk asli Papua berada di kampung-kampung terluar, terdepan, dan tertinggal.
Lima wilayah adat yang telah dibagi pemerintah daerah telah menjadikan kebijakan perencanaan pembangunan daerah di Provinsi Papua, di antaranya wilayah adat Tabi, Laapago, Anim Ha, Meepago, dan Teuk Saereri.
Strategi perencanaan kontekstual melalui pendekatan adat baru untuk membangun Papua secara komprehensif di bidang ekonomi dan infrastruktur, kata Ketua Badan Perencanaan Pembangunan Daerah Papua Muhammad A. Musaad di Biak, Kamis (31/5).
Pendekatan yang menekankan variasi lokal menyadari bahwa pelaksanaan program-program pembangunan tidak dapat secara seragam. Hal ini karena masing-masing komunitas mempunyai kondisi dan permasalahan yang berbeda.
Apabila harus dilaksanakan dengan pola yang seragam, yang terjadi adalah kesenjangan antara program-program pembangunan dan permasalahan dan kebutuhan riil yang ada dalam masyarakat.
Perencanaan merupakan tindakan pemerintah untuk menentukan masa depan berbagai program pembangunan yang dibutuhkan masyarakat.
Dalam Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2004 tentang Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional, Pasal 1 menyebutkan perencanaan adalah suatu proses untuk menentukan tindakan masa depan yang tepat, melalui urutan pilihan dengan memperhitungkan sumber daya yang tersedia.
Perencanaan adalah meletakkan tujuan-tujuan dalam jadwal waktu atau program pekerjaan untuk mendapat hasil yang optimal.
Oleh karena itu, perencanaan merupakan sebuah keniscayaan dan kebutuhan. Perencanaan itu sendiri berfungsi sebagai penuntun arah, meminimalisasi ketidakpastian, meminimalkan infesiensi sumber daya, penetapan standar, dan pengawasan kualitas.
Baca juga: Pembagian dana desa dilanjutkan setelah kerusuhan Karubaga, Papua
Baca juga: Pemprov Papua dorong gerakan tanam pohon sagu
Perencanaan merupakan suatu prosedur dan tahapan dari perencanaan itu dilaksanakan secara hierarki. Prosedur perencanaan itu dilakukan atas dasar prinsip top-down planning.
Top-down planning adalah perencanaan yang dilakukan oleh pemimpin tertinggi suatu organisasi, kemudian atas dasar keputusan tersebut dibuat suatu perencanaan di tingkat yang lebih rendah.
Prinsip lainnya adalah lawan dari prinsip di atas, bottom-up planning. Prinsip ini merupakan perencanaan yang awalnya dilakukan di tingkat yang paling rendah, selanjutnya disusun rencana organisasi di atasnya sampai dengan tingkat pusat atas dasar rencana dari bawah.
Salah satu proses atau perencanaan yang sering dilakukan dalam melakukan rencana pembangunan adalah dengan menggunakan sistem pembangunan yang bersifat bottom-up.
Bottom-up planning adalah perencanaan yang dibuat berdasarkan kebutuhan, keinginan, dan permasalahan yang dihadapi oleh bawahan bersama-sama dengan atasan menetapkan kebijakan atau pengambilan keputusan dan atasan juga berfungsi sebagai fasilitator.
Dalam pengertian di bidang pemerintahan, bottom-up planning atau perencanaan bawah adalah perencanaan yang disusun berdasarkan kebutuhan mereka sendiri dan pemerintah hanya sebagai fasilitator. Pendekatan ini merupakan upaya melibatkan semua pihak sejak awal sehingga setiap keputusan yang diambil dalam perencanaan adalah keputusan mereka. Hal ini mendorong keterlibatan dan komitmen sepenuhnya untuk melaksanakannya.
Adapun kelemahannya memerlukan banyak waktu dan tenaga untuk perencanaan. Diperlukan pengembangan budaya perusahaan yang sesuai.
Partisipasi masyarakat
Pola pendekatan adat sebuah perencanaan pembangunan yang kini sedang dikembangkan dengan sasaran partisipasi masyarakat.
Perencanaan pembangunan partisipatif merupakan pola pendekatan perencanaan pembangunan yang melibatkan peran serta masyarakat pada umumnya bukan saja sebagai objek, melaikan sekaligus sebagai subjek pembangunan sehingga nuansa yang dikembangkan dalam perencanaan pembangunan benar-benar dari bawah (bottom-up approach).
Dalam konteks pelaksanaan otonomi khusus Papua, pendekatan adat menjadi sebuah strategi jitu menggairahkan partisipasi masyarakat dalam mewujudkan kesejahteraan orang asli Papua.
"Wilayah adat Papua yang menjadi target perencanaan pembangunan kontekstual Papua harus mampu meningkatkan taraf hidup orang asli Papua," kata Kepala Bappeda Muhammad Musaad.
Strategis perencanaan berbasis wilayah adat di Papua, menurut Musaad, telah diakomodasi oleh pemerintah pusat dengan mengakui model pembangunan Papua berbasis kultur atau wilayah adat sebagai upaya untuk mengejar ketertinggalan kedua provinsi itu dengan daerah lain.
Kajian yang disusun untuk strategi ini adalah kesepakatan Pemerintah Provinsi Papua dengan Bappenas, ujarnya.
Berdasarkan pendekatan tersebut, pembangunan di wilayah Domberai yang meliputi Sorong, Raja Ampat, Manokwari, dan Bintuni akan difokuskan pada sektor perikanan dan hasil laut, minyak, dan industri berbasis gas, serta pariwisata.
Untuk wilayah Lapago yang meliputi Kabupaten Jayawijaya dan pemekarannya, menurut Musaad, pembangunan difokuskan pada potensi kopi, buah merah, ubi jalar, pariwisata, pertanian, peternakan babi, dan hortikultura.
Baca juga: Hanggar Lanud Biak disiapkan jadi arena PON Papua
Baca juga: Wisatawan diajak saksikan Festival Biak Munara Wampasi
Pemerintah telah menyusun perencanaan 17 proyek strategis infrastruktur untuk Papua dan Papua Barat senilai lebih dari Rp18 triliun.
Beberapa proyek infrastruktur, seperti pembangunan dermaga, jalan, dan pengembangan bandara di dua provinsi paling timur Indonesia itu sudah dikerjakan.
Perhatian pemerintah pusat terhadap Papua tidak pernah berkurang. Apalagi, di dalam UU Otsus ada klausul yang mengatakan bahwa perlindungan khusus bagi masyarakat asli Papua.
Penjabat orang asli Papua saat ini banyak menduduki jabatan-jabatan puncak di Provinsi Kepala Burung itu, mulai Gubernur Papua, Gubernur Papua Barat, Ketua Majelis Rakyat Papua (MRP), dan DPRP atau DPR Papua.
Proteksi orang Papua
Penjabat Gubernur Papua Soedarmo mengatakan bahwa pemberlakuan Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2001 yang diberikan pemerintah pusat untuk memproteksi orang asli Papua.
Ia menyebut pelaksanaan otonomi khusus di Papua dan Papua Barat setidak-tidaknya harus memenuhi prinsip perlindungan, keberpihakan, dan pemberdayaan.
Perlindungan orang asli Papua, lanjut Soedramo, meliputi pengakuan masyarakat adat, hak memanfaatkan sumber daya alam, peradilan adat, dan pemerintahan adat sebagai identitas local, serta penyelesaian masalah politik-sosial dan hak asasi manusia, penegakan dan pemenuhannya.
Selain itu, adanya keberpihakan (affirmative action) meliputi pewadahan kebutuhan orang asli Papua meningkatkan pendidikan, kesehatan, partisipasi, dan kesejahteraan.
Untuk pemberdayaan meliputi pembangunan fisik dan nonfisik, seperti infrastruktur, keterisolasian, dan transportasi.
"Sekarang tinggal bagaimana para pemimpin Papua itu dapat membangun negerinya dan meningkatkan kesejahteraan rakyat, sementara besarnya dana otsus memang belum sebanding dengan peningkatan kesejahteraan. Itu yang harus menjadi kajian dan evaluasi bersama," kata Penjabat Gubernur Soedarmo seperti dikutip Pjs. Bupati Biak Besem Gombo pada penutupan musyawarah perencanaan pembangunan daerah otonomi khusus.
Pemberian otonomi khusus, menurut Soedarmo, adalah kewenangan khusus yang diakui dan diberikan kepada Provinsi Papua untuk mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat menurut prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi dan hak-hak dasar masyarakat Papua.
Baca juga: Mengenal kopi Oksibil dari Papua
Baca juga: Peringatan 55 tahun Papua kembali ke NKRI
Sementara itu, Direktur Eksekutif LSM Biak Oktovianus Mangge mengharapkan perencanaan pembangunan dengan pendekatan adat menjadi sebuah harapan baru bagi masyarakat asli Papua.
Setelah musrenbang otonomi khusus digelar, katanya lagi, harus diikuti lembaga adat dalam mengawal program untuk masyarakat asli Papua.
Mangge mendorong peran pengawasan lembaga independen perlu dilibatkan sehingga perencanaan yang sudah dibahas dapat diimplementasikan secara utuh dan berkesinambungan.
Dituntut peran lembaga adat harus lebih proaktif mengawal setiap kebijakan pembangunan yang telah ditetapkan lewat APBD yang bersumber dari dana otsus Papua.
Dengan pendekatan adat yang dilakukan oleh Pemerintah, menurut Mangge, akan ada keberpihakan program terhadap orang asli Papua.
Peran lain yang harus terlibat dalam mengawal kebijakan pembangunan berbasis adat, kata Mangge, melibatkan organisasi nonpemerintah sebagai pendamping program di lapangan.
"Organisasi kemasyarakatan di lingkungan setempat harus dilibatkan untuk menjadi partner pemerintah dalam mewujudkan berbagai program untuk kesejahteraan orang asli Papua," ungkap Oktovianus Mangge.
Akankah perencanaan pembangunan dengan menggunakan strategi pendekatan wilayah adat dapat mewujudkan kesejahteraan orang asli Papua, sebagaimana tujuan dari otonomi khusus Papua? Hal ini tentunya harus mendapat dukungan pemangku kepentingan di tanah Papua.
Pewarta: Muhsidin
Editor: Gilang Galiartha
Copyright © ANTARA 2018