Jakarta (ANTARA News) - Partai Komunis Indonesia (PKI) serasa menjadi sejarah kebencian politik yang diwariskan di Tanah Air.
Citra kekejaman dan darah dinginnya menjadi siapa pun bergidik membayangkan bahkan untuk sekedar satu kata Gerwani.
Hal serupa itulah yang barangkali dirasakan Presiden Joko Widodo (Jokowi) yang selama ini kerap dilabeli sebagai komunis.
Begitu sering dalam pidato-pidatonya, ia menekankan bahwa dirinya sama sekali jauh dari PKI.
Mantan wali kota Solo itu tak segan mengisahkan silsilah keluarganya yang ia terangkan benar-benar tidak ada sangkut pautnya dengan PKI.
Ia berbicara, terus meyakinkan, bahwa dirinya adalah seorang muslim yang taat yang tak pernah sekalipun tertarik untuk menjadi penganut marxisme atau sejenisnya.
Jokowi senantiasa merasa terzalimi dengan fitnah-fitnah yang melabeli dirinya sebagai bagian dari partai komunis.
Pria berdarah Solo asli itu tak henti-hentinya menceritakan betapa tak habis pikir dirinya tentang orang-orang yang berupaya menyudutkannya dengan fitnah PKI yang ia sebut sebagai tuduhan penghinaan yang sungguh keterlaluan.
Ia bicara di pondok-pondok pesantren, kepada para mahasiswa, kepada ibu-ibu, kepada penerima sertifikat, kepada pelajar yang bahkan mendengar PKI dari sebatas cerita, namun ia tak lelah sebab pemfitnahnya pun di mata Jokowi seperti selalu mencari cara untuk propaganda.
Baca juga: Presiden Jokowi protes gambar kampanye PKI memuat dirinya
Baca juga: Presiden Jokowi tegaskan dirinya bukan PKI
Foto seseorang yang dimiripkan dengan dirinya sedang berdiri di samping DN Aidit yang berpidato salah satunya, pun dijelaskannya sebagai hoaks, lagi sampah.
Belakangan diketahui foto itu diambil pada 1955, sementara Jokowi baru lahir pada 1961, dan PKI dibubarkan secara resmi pada 1965.
"Masa ada PKI balita?" ucap Jokowi yang ia sampaikan puluhan kali di depan publik, isu itu baginya tak lebih dari sebuah fitnah yang amat kejam.
Sangat menyakitkan
Pada satu kesempatan di Bogor, Presiden Jokowi menyatakan, sebagaimana pernah ia sampaikan sebelumnya di berbagai tempat, bahwa "Tuduhan sebagai komunis, adalah sesuatu yang sangat menyakitkan dan tak masuk akal.".
Pengamat politik sekaligus penggagas dan pendiri Gerakan Damai Nusantara Jappy M. Pellokila mengatakan hal yang terjadi pada Presiden Jokowi yang "ditembak" dengan isu PKI oleh lawan-lawan politiknya sejatinya merupakan dampak turunan kehidupan berdemokrasi.
Terlebih menurut dia, tahun 2018-2019 yang bisa dikatakan sebagai masa kritis dan krisis dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, karena jika perbedaan dan persaingan politik (terutama pada masa kampanye) saat Pilkada, Pemilu, Pilpres, tidak dikelola dan tertata dengan baik dan benar, maka akan melahirkan konflik horizontal, yang bisa berujung pada chaos sosial yang melebar.
Oleh karena itu, Jappy berpendapat sasaran hoaks, yang bermuatan fitnah dan ujar kebencian tersebut, bisa tertuju kepada siapa saja, pada semua kalangan dan strata, termasuk kepada Presiden.
Secara khusus, serangan hoaks (termasuk ujar kebencian, fitnah, dan penistaan) terhadap Jokowi, bahkan sudah terjadi, sejak lama, jauh sebelum ia menjabat Presiden.
Dan hal yang paling sering dipakai untuk menyerang Jokowi, adalah isu komunis.
Baca juga: Gus Romi: Jokowi pro-komunis itu fitnah
Baca juga: Setara desak polisi tindak tegas penyebar hoaks terhadap Presiden Jokowi
Hal itu menurut Jappy berpotensi menjadi senjata yang ampuh untuk menjatuhkan elektabilitas dan popularitas Jokowi mengingat isu SARA merupakan sesuatu yang paling mudah dihembuskan dan paling "laris" dijajakan di Tanah Air.
Dibungkus dengan isu sentimen agama, maka lengkaplah peluru untuk menjatuhkan Jokowi dari konstelasi politik menuju Pilpres 2019.
Meskipun merupakan sesuatu yang tak terelakkan, Jappy berharap masyarakat semakin cerdas dalam menerima informasi.
Di sisi lain ia memiliki harapan yang tinggi kepada aparat untuk mampu menegakkan aturan dan pemberlakuan hukuman bagi praktik penyebaran isu hoaks atau kabar bohong yang meresahkan.
Membuktikan diri
Pengamat dari Lembaga Dakwah dan Syiar Islam AHY Institute Indonesia Arif Amarudin menilai Presiden Jokowi bisa melepaskan diri dari label komunis yang dilekatkan pada dirinya.
Hal itu menurut dia bukan sesuatu yang sulit sepanjang Jokowi mampu membuktikan dirinya dengan hasil kerja yang optimal.
Seiring waktu, fitnah dan isu-isu negatif akan gugur begitu saja manakala Presiden Jokowi mampu membuktikan diri dengan berbagai hasil kerja yang mendatangkan kesejahteraan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.
Menurut dia, tidak ada alasan bagi Jokowi secara pribadi untuk merasa takut atau terzalimi dengan tuduhan-tuduhan yang tidak terkonfirmasi kebenarannya.
Menjawab tuduhan tak bertanggung jawab semenyakitkan apa pun dengan prestasi menjadi langkah yang lebih baik ketimbang balas melakukan propaganda dengan bicara.
Ia berpendapat, fitnah, tuduhan, dan isu hanya bisa dijawab dengan data, fakta, dan prestasi.
Baca juga: Jokowi geli dan kritik ngawurnya pembuat fitnah PKI
Baca juga: Jokowi: "Kalau PKI bangkit, gebuk saja"
Namun ia menilai, tetap penting bagi Jokowi untuk membentuk citra diri yang lebih positif sebagai personal branding-nya menuju Pilpres 2019.
Arif mendukung langkah Jokowi yang saat ini tampak banyak melakukan pendekatan dengan ormas-ormas Islam, kalangan pesantren, ulama, kyai, hingga para santrinya.
Sebab sesungguhnya elektabilitas politik adalah permainan tentang citra diri, maka pilihannya hanyalah membentuk citra diri yang baik melalui kerja atau menjatuhkan citra diri lawan dengan tuduhan keji.
Faktanya, inilah dunia politik, suka tidak suka.
Pewarta: Hanni Sofia
Editor: Gilang Galiartha
Copyright © ANTARA 2018