Pada bulan Juni tahun 2018 ini, rakyat Indonesia menghadapi kesibukan yang luar biasa.
Mulai dari menunaikan ibadah puasa terutama bagi Umat Islam yang dilanjutkan Hari Raya Idul Fitri, pilkada 27 Juni di 171 daerah, baik provinsi, kabupaten dan kota hingga hari lahirnya Pancasila 1 Juni.
Akan tetapi pada bulan ini juga ada dua peristiwa penting lainnya yang tak patut dilupakan, yakni memperingati hari lahirnya Sang Proklamator Soekarno serta Soeharto, yakni 6 Juni sebagai lahirnya Bung Karno serta 8 Juni untuk Pak Harto. Bung Karno lahir di Surabaya, Jawa Timur, sedangkan Soeharto lahir di Desa Kemusuk, Yogyakarta.
Apabila berbicara tentang Sang Proklamator maka rakyat Indonesia--siapa pun juga orangnya--pasti tidak akan pernah kehabisan bahan alias topik pembicaraan. Misalnya mulai dari perannya saat membacakan teks Proklamasi Negara Kesatuan Republik Indonesia, perannya yang amat penting saat melahirkan Pancasila hingga peran yang amat menentukan selama menjadi kepala negara selama sekitar 22 tahun.
Generasi muda alias generasi "zaman now", misalnya, hanya bisa membaca buku, tulisan-tulisan tentang Soekarno saat Indonesia ingin merebut Irian Barat yang kini namanya telah menjadi Provinsi Papua dan Papua Barat sekitar tahun 1962.
Saat itu, Angkatan Bersenjata Republik Indonesia atau ABRI telah menjadi salah satu angkatan terbesar dan terkuat di kawasan Asia Tenggara. ABRI mendapatkan banyak sekali senjata dari Uni Sovyet yang kini telah berubah menjadi Rusia mulai dari pistol, senapan, pesawat tempur hingga kapal perang.
Karena pada 18 Agustus-2 September 2018 Indonesia akan menjadi tuan rumah pesta olah raga se Asia alias Asian Games yang diperkirakan diikuti sekitar 15.000 olahragawan dari puluhan negara Asia, maka bangsa ini mau tidak mau harus teringat pada jasa Bung Karno yang menyelenggarakan Asia Games pada tahun 1962.
Gara-gara Asian Games 1962 ini, maka Indonesia mulai merasakan kemajuan teknologi komunikasi dan informatika dengan lahirnya Televisi Republik Indonesia (TVRI). Kini di Tanah Air terdapat belasan stasiun televisi terutama milik swasta.
Sementara itu, Bung Karno di bidang politik telah mewujudkan Indonesia sebagai menjadi tuan rumah Konferensi Asia Afrika (KAA) pada tahun 1955. Puluhan negara mengirimkan wakil-wakil mereka datang ke Bandung.
Hingga detik ini, KAA masih terus diingat bahkan diperingati dan tentu saja sama sekali tak bisa dipisahkan dari peran jasa luar biasa Bung Karno yang sangat mengharumkan nama dan kehormatan RI.
Soekarno juga dikenal sebagai orator atau tukang pidato di berbagai forum internasional dan setiap kali dia "mengacung-acungkan tangannya" maka hampir bisa dipastikan seluruh rakyat Indonesia mendapat materi yang amat menarik dan menggebu-gebu baik saat dia berpidato di dalam negeri maupun di luar negeri.
Sang Proklamator ini mempunyai begitu banyak teman di luar negeri yang umumnya merupakan politisi atau negarawan "kelas kakap" seperti Fidel Castro, hingga Mao Tse Tung. Karena itulah, nama Indonesia semakin harum di seantero dunia.
Namun biar bagaimanapun juga, Soekarno hanyalah seorang manusia biasa yang tak akan pernah luput dari kesalahan, kekhilafan atau apapun istilahnya. Berbagai pemberontakan terjadi di dalam negeri, misalnya, pemberontakan PRRI-Permesta, Madiun, Kartosuwiryo hingga G-30-S/PKI.
Akhirnya Bangsa Indonesia mau tidak mau harus rela melepaskan Bung Karno dan akhirnya kursi RI-1 dipegang oleh Soeharto.
Atasi Inflasi
Soeharto sebenarnya bukan "wajah baru" bagi bangsa ini terutama dia sudah dikenal sejak upaya merebut Irian Jaya. Kemudian saat terjadinya pemberontakan PKI tahun 1965, Soeharto sedang menjadi Panglima Komando Cadangan Strategis alias Kostrad yang merupakan salah satu kesatuan elit di ABRI.
Bersama-sama dengan Jenderal Abdul Haris Nasution, duet ini membasmi dan menggulung PKI.
Salah satu tugas utama soeharto adalah memperbaiki ekonomi di Tanah Air dan bersama-sama dengan sejumlah pakar ekonomi seperti Profesor Soemitro Djjohadikusomo, Ali Wardhana, Saleh Afiff dan tokoh-tokoh utama ekonomi dalam negeri terus berusaha memperbaiki ekonomi dalam negeri.
Inflasi yang begitu tinggi pada masa pemerintahan sebelumnya secara bertahap terus-menerus dikurangi sehingga rakyat bisa menghadapi kehidupan sehari-harinya dengan perasaan yang cukup tenang.
Karena itu, sama sekali tak mengherankan jika seorang politisi PDIP Taufiq Kiemas pernah mengungkapkan bahwa masih banyak warga Indonesia yang merindukan kepemimpinan jenderal besar ini padahal Taufiq Kiemas pernah merasa "dikucilkan" selama masa Orde Baru.
Indonesia pernah mendapat penghargaan dari Organisasi Pangan dan Pertanian PBB, yakni FAO karena dianggap sukses mewujudkan swasembada pangan terutama beras. Selain itu, berbagai penghargaan dan pujian terus mengalir ke dalam negeri.
Di bidang politik luar negeri, Soeharto mempunyai hubungan sangat erat dengan Perdana Menteri Doktor Mahathir Mohammad dan juga Perdana Menteri Singapura Lee Kuan Yew sehingga praktis tak ada ganjalan atau hambatan dengan kedua negara tetangga itu.
Namun setelah berkuasa 32 tahun, akhirya "Bapak Pembangunan" ini pada 21 Mei tahun 1998 harus turun dari tampuk kekuasaannya karena banyak warga yang tak menyukainya antara lain karena pada pemerintahannya terjadi korupsi, kolusi dan nepotisme (KKN) termasuk lingkungan terdekatnya.
Adakah hikmahnya?
Setelah Soeharto jatuh, akhirnya kepemimpinan beralih secara bergantian mulai dari BJ Habibie, Abdurrahman Wahid alias Gus Dur, Megawati Soekarnoputri, Susilo Bambang Yudhoyono dan kini kursi Presiden dipegang oleh Joko Widodo atau Jokowi.
Generasi muda Indonesia amat perlu menyadari bahwa tidak ada orang--termasuk presiden yang manapun juga--yang tidak mempunyai dosa, kesalahan kekurangan, kekhilafan dan lainnya. Soekarno, Soeharto dan semua penggantinya serta kepala-kepala negara berikutnya pasti juga akan mempunyai sifat alpa.
Para pemimpin harus sadar bahwa mereka cuma orang-orang biasa yang kebetulan menjadi pemimpin pemerintahan.
Jika zaman Soekarno atau Soeharto pernah ikut melahirkan KKN maka sudah sepatutnya para kepala-negara pada masa mendatang tidak ikut -ikutan melakukan kesalahan yang sama. Jika KKN tetap saja terjadi apalagi jika berlangsung massif dan terstruktur maka yang akan paling menderita adalah ratusan juta orang Indonesia terutama rakyat kecil yang setiap harinya masih saja harus mengais rezeki dengan cara yang amat susah payah.
Sudah cukup bangsa ini mengalami nasib buruk dalam masa-masa pemerintahan yang sebelumnya sehingga jika pada tahun 2019 akan berlangsung pemilihan presiden, maka rakyat amat mendambakan presiden yang betul-betul bersifat amanah agar kehidupan rakyat terus membaik bahkan semakin baik dan sejahtera.
Boleh saja, pilkada serentak, pemilihan anggota legislatif--DPD-DPR RI serta DPRD I dan II--hingga pemilihan presiden dan wakil presiden menimbulkan keriuhan atau gegap gempita yang sesaat. Namun setelah itu, suasana politik, sosial politik, kesejahteraan sosial dan ekonomi harus kembali pulih sehingga rakyat bisa dengan tenang mencari uang alias rezeki.
Kalau Soekarno dan juga Soeharto dianggap telah mempunyai "setumpuk dosa` terhadap bangsa ini, maka jangan lagi kesalahan- kesalahan yang sama terulang atau diulang kembali oleh presiden atau pemimpin yang manapun juga.
Sudah cukuplah jika Bangsa indonesia menghadapi atau merasakan "kepahitan-kepahitan" selama era Soekarno dan Soeharto. Tapi generasi muda jangan cuma bisa mengomeli, menghakimi kedua pemimpin besar itu. Sampai detik ini masih saja ada "tokoh-tokoh" pemuda yang cuma bisa memaki dan "menghakimi" Bung Karno serta Pak Harto.
Karena kehidupan dunia akan semakin keras dan penuh perjuangan, maka generasi muda sekarang dan masa depan perlu mengambil, meniru kebaikan Soekarno dan juga Soeharto sambil membuang jauh-jauh sikap mereka yang jelek atau buruk.
Para pemuda dan pemudi harus belajar menerapkan sikap dasar "Bangsa yang besar adalah bangsa yang menghormati para pahlawannya".
Selamat berulang tahun Almarhum Soekarno dan Soeharto.
(T.A011/S023)
Pewarta: Arnaz F. Firman
Editor: Suryanto
Copyright © ANTARA 2018