Jakarta, 31/5 (ANTARA News) - Majelis hakim pengadilan tindak pidana korupsi (Tipikor) menolak keberatan yang diajukan oleh penasihat hukum mantan Ketua Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN) Syafruddin Arsyad Temenggung yang menjadi terdakwa kasus dugaan korupsi yang merugikan keuangan negara senilai Rp4,58 triliun.
"Mengadili, menyatakan eksepsi terdakwa dan penasihat hukum terdakwa tidak dapat dipenuhi, menyatakan surat dakwaan penuntut umum tanggal 2 Mei 2018 telah memenuhi syarat formil dan materiil sesuai pasal 143 KUHAP dan sah menurut hukum, menyatakan pengadilan Tipikor sah melakukan pemeriksaan, memerintahkan penuntut umum untuk melanjutkan pemeriksaan," kata ketua majelis hakim Yanto di pengadilan Tipikor Jakarta, Kamis.
Dalam perkara ini Syafruddin Arsyad Temenggung selaku Ketua BPPN periode 2002-2004 didakwa bersama-sama dengan Ketua Komite Kebijakan Sektor Keuangan (KKSK) Dorojatun Kuntjoro-Jakti serta pemilik Bank Dagang Negara Indonesia (BDNI) Sjamsul Nursalim dan Itjih S Nursalim telah melakukan penghapusan piutang BDNI kepada petani tambak yang dijamin oleh PT Dipasena Citra Darmadja (DCD) dan PT Wachyuni Mandira (WM) serta menerbitkan Surat Pemenuhan Kewajiban Pemegang Saham sehingga merugikan keuangan negara hingga Rp4,58 triliun.
Dalam putusannya, majelis hakim yang terdiri atas Yanto, Diah Siti Basariah, Sunarso, Anwar dan Sukartono menolak semua keberatan penasihat hukum.
Pertama terkait keberatan penasihat hukum Syafruddin bahwa pengadilan tipikor tidak berwenang mengadili kasus tersebut karena merupakan objek pengadilan tata usaha negara (PTUN) dan sedang diajukan gugatan ke pengadilan perdata.
"Majelis hakim tidak sependapat karena secara jelas disebutkan pasal 2 Perma 2014 bahwa pengadilan TUN berwenang mengadili sengketa TUN sebelum ada proses pidana dan harus ada proses penilaian sementara pemeriksaan pidana tidak perlu menunggu selesainya perkara perdata dan juga sebaliknya. Penyidikan, penuntutan terhadap perkara tipikor harus didahulukan dari perkara lainnya guna penyelesaian secepatnya sehingga keberatan tim penasihat hukum terdakwa tidak punya alasan hukum dan dinyatakan tidak dapat diterima," tutur anggota majelis hakim Anwar.
Selanjutnya mengenai keberatan penasihat hukum yang menyebutkan perkara itu sudah kedaluwarsa karena BDNI mengikuti Penyelesaian Kewajiban Pemegang Saham (PKPS) dengan pola perjanjian "Master Settlement Aqcuisition Agreement" (MSAA) yang telah dinyatakan "final closing" pada 25 Mei 1999 sehingga tindak pidana seharusnya dihitung daluasa sejak "final closing" MSAA dan artinya perkara hapus alias daluarsa pada 25 Mei 2017.
Menurut hakim, jaksa penuntut umum KPK menguraikan peristiwa hukum BLBI oleh BDNI terjadi sejak Desember 1997 sampai Juni 98 dan ada kesepakatan penyelesaian utang perdata melalui MSAA melalui mekanisme "release and discharge" sehingga "final closing" terjadi pada 25 Mei 1999 setelah keluar surat "release and discharge".
Sementera perkara tipikor ke Syafruddin adalah terkait keluarnya SKL pada 2004 yang merupakan lanjutan dari evaluasi kepatuhan MSAA.
"Menimbang terhadap keberatan tersebut majelis hakim tidak sependapat karena penasihat hukum juga menyebut objek perkara a quo dikeluarkannya SKL saat terdakwa menjabat ketua BPPN tahun 2004 sehingga tidak lewat waktu daluarsa seperti pasal 78 KUHAP sehingga keberatan penasihat hukum tidak beraslasan hukum dan tidak dapat diterima," tambah hakim Anwar.
Atas putusan sela itu, sidang dilanjutkan dengan pemeriksaan saksi pada Rabu, 6 Juni 2018.
Pewarta: Desca Lidya Natalia
Editor: Unggul Tri Ratomo
Copyright © ANTARA 2018