"Media besar seperti televisi harus membangun kesadaran bersama untuk tidak mengajak atau melibatkan ustadz yang terafiliasi dengan paham radikal," ujarnya dikutip dalam siaran di Jakarta, Selasa.
Menurut dia apabila media televisi tidak memiliki kesadaran itu maka akan menyumbang cukup besar terhadap tumbuh dan berkembangnya terorisme di Indonesia karena pengaruh televisi di Indonesia cukup besar.
"Media televisi harus menghujani kesadaran masyarakat terhadap toleransi, terhadap hidup ber-Bhinneka Tunggal Ika karena media televisi masih menjadi rangking pertama dalam memengaruhi opini publik," ujar dosen Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta itu.
Baca juga: Remaja jadi sasaran paham radikal di dunia maya
Sedangkan untuk menghalau propaganda radikalisme dan terorisme melalui media sosial, menurut dia, Indonesia diuntungkan karena memiliki undang-undang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE) yang dapat dipakai karena radikalisme itu awal mulanya adalah ujaran kebencian.
"Begitu ada ujaran kebencian, ada penegakan hukum. Jangan sampai ujaran kebencian yang di dalamnya ada ideologi terorisme berujung pada tindakan terorisme," kata Wakil Ketua Lembaga Bahtsul Masail Pengurus Besar Nahdatul Ulama ini.
Untuk itu, menurut dia, UU ITE harus dipergunakan seefektif mungkin, terutama untuk membuat efek jera bagi orang-orang yang ingin menyebarkan ujaran kebencian di mana mana.
Selain itu, Kementerian Komunikasi dan Informatika juga harus dapat menghentikan pergerakan kelompok radikal di media sosial karena kalau tidak dilakukan maja akan menjadi alarm bahaya bagi Indonesia.
"Tidak mudah membentengi NKRI dengan pulaunya yang sangat banyak, masyarakatnya yang beragam, sukunya yang beragam karena Indonesia ini bisa dimasuki oleh paham apa saja, mulai dari yang kanan sampai yang kiri," ujarnya.
Baca juga: Universitas Airlangga ancam keluarkan dosen/mahasiswa berpaham radikal
Pewarta: Sigit Pinardi
Editor: Suryanto
Copyright © ANTARA 2018