"Dengan contoh 200 mubaligh ini sebenarnya terlihat standar apa yang sebetulnya diinginkan pemerintah. Saya kira wajar saja," kata Wakil Ketua Umum Majelis Ulama Indonesia (MUI) Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) Abdul Malik Madani di Yogyakarta, Selasa.
Menurut dia, peluncuran daftar 200 nama penceramah oleh Kemenag tidak perlu diperdebatkan berlebihan sebab memang tidak mungkin 200 nama itu mampu menjangkau seluruh kebutuhan masyarakat akan penceramah di seluruh Indonesia.
Ia menyadari peluncuran daftar penceramah itu memantik beragam reaksi karena banyak da`i atau penceramah yang menurut pandangan masyarakat sangat memenuhi syarat namun ternyata tidak dimasukkan ke dalam daftar tersebut.
"Kalau semua penceramah dimasukkan daftar ya tentu banyak sekali ada ratusan ribu. Jadi belum tentu yang tidak masuk dalam 200 nama itu kemudian dianggap tidak sesuai," kata dia.
Seiring terus bertambahnya jumlah penceramah yang menyampaikan materi dakwahnya dengan metode beragam, menurut dia, memang dibutuhkan sebuah acuan atau standar dari Kemenag.
Standar itu, misalnya harus menguasai ilmu agama dengan kuat, memiliki wawasan kebangsaan, serta memiliki kesetiaan penuh terdadap Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).
"Saya kira sekarang memang banyak penceramah yang (cara berceramahnya) tidak menyejukkan dan justru memacing terjadinya perpecahan, dakwahnya juga diisi ujaran-ujaran kebencian. Ini menurut saya yang perlu diberikan contoh," kata dia.
Meski demikian, ia berharap Kemenag tetap memiliki komitmen untuk mencari formulasi ideal serta menyempurnakan daftar nama penceramah yang direkomendasikan sehingga tidak menyulut perdebatan panjang di kalangan masyarakat. "Saya kira sudah ada komitmen dari Kemenag untuk menyempurnakannya," kata dia.
Baca juga: Menag: Daftar mubaligh permintaan publik
Baca juga: MUI: Jumlah penceramah bisa bertambah belum final
Baca juga: PBNU kritik Kemenag agar rilis penceramah yang dilarang
Pewarta: Luqman Hakim
Editor: AA Ariwibowo
Copyright © ANTARA 2018