Samarinda (ANTARA News) - Bupati Kutai Timur (Kutim), Awang Faroek Ishak, mengatakan bahwa pemerintah Amerikas Serikat (AS) menyatakan siap membantu dana operasional bagi konservasi kawasan Wehea yang selama ini dikenal sebagai rumah orangutan (Pongo pygmaues) untuk menjadi Hutan Lindung (HL) di Kutai Timur (Kutim), Kalimantan Timur. "Deputi Menteri Luar Negeri AS dijadwalkan datang meninjau hutan Wehea tanggal 27 Juli 2007, tujuan mereka akan membantu dana operasional dan mendukung daerah itu menjadi kawasan hutan lindung," ujar Awang di Samarinda, Selasa. Awang mengemukakan, sangat berterima kasih atas dukungan tersebut karena hutan Wehea masih bagus ketimbang kawasan lain di Kaltim, serta memiliki keragaman hayati bernilai luar biasa, apalagi kawasan itu menjadi habitat orangutan. Berdasarkan penelitian dari aspek hidrologi dari Universitas Mulawarman dan "The Nature Conservancy" (TNC), selama 2003 hingga 2006, kawasan tersebut berada di daerah aliran sungai (DAS) Wahau yang muaranya menuju Sungai Mahakam. Berdasarkan penelitian TNC juga menyebutkan bahwa di hutan Wehea terdapat sedikitnya itu sekitar 750 orangutan sehingga kawasan itu dikenal sebagai "rumah si Pongo" karena populasi tersebut cukup besar ketimbang dengan beberapa kawasan konservasi lain di Indonesia. Kawasan itu juga menjadi habitat sembilan jenis primata, 12 jenis tupai, 19 jenis mamalia umum, 114 jenis burung. Selain itu kawasan tersebut juga menjadi penyangga tiga sub-DAS lainnya yakni Seleq, Melinyu, serta Sekung. Hutan Wehea juga menjadi habitat bagi aneka flora dan fauna. Hutan tersebut memiliki keanekaragaman jenis flora yang tinggi baik jenis pohon komersil, anggrek, jamur, liana maupun rotan. Pihaknya juga menyayangkan sikap Menteri Kehutanan yang hingga kini belum menetapkan status hukum kawasan HL terhadap hutan Wehea. Pemerintah Kabupaten (Pemkab) Kutim sejak 2005 telah membentuk Badan Pengelola Hutan Lindung Wehea yang turut melibatkan peran serta masyarakat setempat di dalamnya sebagai upaya untuk melestarikan kawasan itu. Berdasarkan informasi, kata Awang bahwa Dephut mengalami hambatan untuk menjadikan HL terkait dengan masalah ganti rugi kepada perusahaan HPH (hak pengusahaan hutan) di kawasan itu. Hutan Wehea memiliki luas 38.000 hektar yang dahulu merupakan areal HPH milik PT. Gruti III yang izinnya berhenti pada tahun 1993. Setelah itu, pada 1995 pemerintah merekomendasikan Gruti III bergabung dengan Inhutani II untuk mengelola kawasan itu dengan. membentuk PT. Loka Dwihutani. Namun karena topografi dearah yang dinilai tidak menguntungkan, daerah itu ditinggalkan sejak tahun 2003. (*)
Editor: Priyambodo RH
Copyright © ANTARA 2007