Saya mengamati persaingan untuk mendapatkan posisi cawapres sangat tinggi, sementara sinyal dari Presiden Jokowi akan memilih siapa belum jelas,"
Jakarta (ANTARA News) - Potensi perpecahan partai politik dalam proses pencalonan wakil presiden yang diusung untuk mendampingi Presiden Joko Widodo cukup besar sehingga untuk menghindari konflik, friksi serta perpecahan, maka mekanisme internal partai harus digunakan untuk memutuskan figur yang akan dicalonkan.
"Saya mengamati persaingan untuk mendapatkan posisi cawapres sangat tinggi, sementara sinyal dari Presiden Jokowi akan memilih siapa belum jelas," ujar anggota Dewan Kehormatan DPP Partai Golkar Anwar Arifin ketika berbicara dalam diskusi bertema "Koalisi Elite Vs Kader: Pencapresan dan Ancaman Perpecahan Parpol" di Menteng Jakarta, Minggu petang.
Karena itu, kata Anwar Arifin , secara internal partai harus melakukan proses yang transparan dan demokratis.
"Kalau di Golkar, saya usulkan digelar rapat pimpinan nasional," katanya.
Diskusi juga menampilkan narasumber Direktur Organisasi Kesejahteraan Rakyat (Orkestra) Poempida Hidayatullah, Ketua DPP PSI Tsamara Amany, Direktur LIMA Ray Rangkuti dan Direktur Eksekutif Lembaga Survei Indepeneden Nusantara (LSIN) Yassin Muhammad selaku pelaksana diskusi.
Anwar Arifin menegaskan, tidak sulit bagi Golkar untuk segera menggelar rapimnas dan mendengarkan suara-suara DPD I dan II guna menjaring figur yang layak dan pantas untuk menjadi cawapres.
Anwar Arifin menyatakan, tujuan rapimnas adalah untuk menjaga kekompakan atau soliditas partai. Hal itu karena belum ada sinyal yang jelas dari Presiden Jokowi,sehingga rapimnas bisa memutuskan tiga-lima nama, baik figur muda maupun senior.
"Kalau saat ini Ketua Umum (DPP Golkar) Airlangga Hartarto digadang gadang sebagai cawapres boleh saja, itu masih bersifat pribadi. Tapi dalam pencalonan wakil presiden `kan bukan urusan pribadi," katanya.
Ini merupakan urusan partai dan menyangkut masa depan partai sehingga prosesnya harus demokratis dan terbuka.
"Maka rapimnas adalah yang terbaik sehingga suara-suara yang berbeda bisa disatukan dan jika sudah diputuskan, semua harus patuh," kata Anwar Arifin yang beberapa periode menjadi anggota DPR RI.
Forum transparan
Direktur Orkestra Poempida Hidayatullah setuju dengan Anwar Arifin agar Golkar melaksanakan proses dan mekanisme di internal secara demokratis. Karena itu forum yang transparan dan demokratis adalah rapimnas dengan agenda khusus membahas pencalonan wakil presiden.
"Airlangga selaku Ketua Umum Golkar harus melakukan komunikasi dengan pengurus DPD I dan II dan kemudian membahas pencalonan. Jika calon yang terpilih lewat rapimnas, maka yang bersangkutan mendapat legitimasi partai," katanya.
Mengenai jumlahnya berapa calon yang diusulkan, kata dia, terserah rapimnas yang memutuskan.
Sementara itu Ketua DPP Partai Solidaritas Indonesia (PSI) Tsamara Amany juga setuju partai harus melakukan proses demokrasi di internal agar calon yang terpilih punya legitimasi kuat. Kalau PSI karena tidak mencalonkan wapres tetapi mendukung Jokowi, maka mendukung figur yang muncul melalui ajang "voting" atau pemungutan suara.
"Saya setuju jika partai pengusung Jokowi melakukan semacam proses dari bawah hingga tinggkat DPP pusat ini untuk mengurngi friksi dan juga perpecahan di dalam," katanya.
Direktur Eksekutif Lembaga Suirvei Independen Nusantara (LSIN) Yassin Muhammad mengatakan, deklarasi dan rekomendasi capres, dukungan partai politik pada kontestasi Pilpres 2019 telah mengerucut pada nama petahana, Presiden Jokowi dan di sisi lain ada yang menginginkan bukan Jokowi. Yang menyebut selain Jokowi karena partai politik belum secara resmi mendeklarasikan calon presiden belum memiliki nama tunggal untuk diusung sebagai calon presiden atau paket capres-cawapresnya.
Dalam fatsun politik, tentu saja keputusan rekomendasi parpol terhadap dukungan capres melalui rapimnas, mukernas dan rakernas semestinya merupakan sebuah keputusan yang mengikat terhadap seluruh elemen parpol meliput pengurus, kader atau bahkan hingga sampai di level simpatisan.
Keputusan rekomendasi dukungan capres adalah sah sebagai mekanisme parpol. Konsekuensinya akan mengikat sikap politik dan/atau pilihan politik yang tunggal atau solid atau utuh kepada semua elemen parpol.
Karena itu akan menjadi fenomena aneh jika ada dinamika "beda pilihan" antara keputusan parpol dengan pengurusnya, kadernya atau mungkin simpatisan. Perbedaan beda pilihan ini sekaligus menimbulkan dampak berupa perseteruan antara koalisi elit dengan koalisi kader parpol.
"Lantas pertanyaan besarnya apakah dukungan atau sikap resmi parpol saat ini terhadap calon presiden Jokowi atau yang bukan Presiden Jokowi adalah sikap final kader, simpatisan atau pemilih pada Pilpres 2019? Jika jawabannya tidak, maka ancaman perpecahan jelas nyata di tubuh parpol," kata dia.
"Pertanyaan selanjutnya adalah apakah akan muncul, baik dalam skala terang-terangan atau di bawah tangan adanya perpindahan dukungan (dalam bahasa yang lebih ekstrem bisa disebut sebagai "pengkhianatan" antara keputusan partai dengan pergerakan kader di bawahnya?," katanya.
Jika perpindahan dukungan terjadi maka bisa dipastikan timbul gaduh politik akibat rekomendasi capres pada Pilpres 2019 kembali terulang sebagaimana 2014 terjadi pada Partai Golkar dan PPP.
Pewarta: Sri Muryono
Editor: Tasrief Tarmizi
Copyright © ANTARA 2018