Jakarta (ANTARA News) - Perry Warjiyo yang baru dilantik sebagai Gubernur Bank Indonesia menjanjikan respons kebijakan suku bunga secara antisipatif dan tidak terlambat (ahead the curve) dalam merespons tekanan keluarnya arus modal asing yang dapat menggerus nilai tukar rupiah.
Setelah mengucap sumpah jabatan di Mahkamah Agung, Jakarta, Kamis, Perry menekankan akan menerapkan langkah-langkah kebijakan moneter yang "lebih kuat", bersifat mendahului (pre-emptive) dan antisipatif terhadap tekanan ekonomi eskternal, terutama dampak dari empat kali kenaikan suku bunga acuan Federal Reserve tahun ini.
"Saya rencanakan untuk lebih pre-emptive, front loading, dan ahead the curve dalam kebijakan respons suku bunga," ujanya yang menghabiskan lima tahun terakhirnya sebagai Deputi Gubernur BI.
Ia menambahkan bahwa BI akan melakukan intervensi ganda untuk menstabilkan kurs rupiah di pasar valas dan SBN.
Perry yang selalu mengampanyekan kebijakan moneter propertumbuhan dan prostabilitas itu meyakini tekanan ekonomi global, terutama dari Amerika Serikat, masih akan membayangi kondisi arus modal asing di Indonesia.
Secara yakin, dia memprediksi Bank Sentral AS The Federal Reserve akan menaikkan suku bunga acuannya sebanyak empat kali pada tahun ini, yang mengindikasikan membaiknya perekonomian AS.
"Rupiah yang tertekan sejak Februari 2018 karena ekonomi eksternal di AS, yakni imbal hasil obligasi pemerintah US Treasury yang naik dan data ekonomi AS," ujarnya.
BI diakui Perry keliru memprediksi imbal hasil obligasi pemerintah AS tenor 10 tahun yang saat ini sudah menyentuh 3 persen. Sebelumnya, BI memperkirakan imbal hasil obligasi pemerintah AS hanya akan bergerak di kisaran 2,7 persen.
"Tekanan juga datang dari defisit fiskal AS yang lebih tinggi. Pada tahun ini diperkirakan 4 persen, tahun depan 5 persen, dan itu membuat pembiayaan AS akan lebih tinggi," ujarnya.
Kebutuhan pembiayaan untuk defisit itu yang membuat imbal hasil obligasi AS naik dan memicu arus modal keluar dari seluruh negara emerging markets, termasuk Indonesia.
Untuk meredam tekanan terhadap rupiah, Perry akan memperdalam pasar keuangan untuk memastikan likuiditas valas dan rupiah tersedia.
Sejak Januari hingga Mei ini, intervensi BI di pasar SBN sudah menghabiskan Rp50 triliun, di dalamnya sebesar Rp13 triliun pada Mei 2018. Intervensi itu untuk meredakan gejolak di pasar SBN karena tekanan modal keluar menyusul naiknya imbal hasil obligasi pemerintah AS.
Perry dalam waktu dekat juga akan memanggil perbankan yang aktif dalam pengelolaan devisa untuk "menenangkan" dan menyosialisasikan kebijakan moneter.
"Saya juga akan perkuat koordinasi dengan Otoritas Jasa Keuangan. Saya juga akan aktif berkomunikasi dengan perbankan, misalnya untuk membenarkan banyak mispersepsi," ujar dia.
Suku bunga acuan BI "7-Day Reverse Repo Rate" saat ini sebesar 4,5 persen yang pada bulan Mei 2018 baru mengalami penaikan 0,25 persen setelah 9 bulan terkakhir dipertahankan di posisi 4,25 persen.
Pewarta: Indra Arief Pribadi
Editor: Heppy Ratna Sari
Copyright © ANTARA 2018