Yogyakarta (ANTARA News) - Partai politik (parpol) seharusnya menjadi alat rakyat memperjuangkan aspirasi dan kepentingannya, jangan hanya memperdagangkan identitas untuk kepentingan pribadi atau kelompok sendiri. "Parpol selama ini sering hanya digunakan untuk memobilisasi dukungan namun tidak peduli pada hasil perjuangan, apakah untuk rakyat atau bukan," kata pakar politik dari Universitas Gadjah Mada (UGM) Yogyakarta, Dr Purwo Santoso, Selasa. Menurut Wakil Dekan Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik UGM itu, secara normatif parpol harus menjadi alat untuk memperjuangkan kepentingan rakyat. "Tetapi sayangnya yang terlihat saat ini adalah banyaknya pertikaian dalam partai, karena memperebutkan kedudukan sebagai pengambil kebijakan negara," katanya. Parpol hanya menjadi pedagang identitas yang diperlukan oleh orang-orang partai untuk memperjuangkan kepentingan pribadi. Misalnya, Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) yang seharusnya merupakan representasi perjuangan untuk masyarakat Nahdlatul Ulama (NU). Namun karena partai hanya sebagai identitas, maka apa yang diperjuangkan pada kenyataannya tidak untuk masyarakat NU. Ia mengatakan parpol seharusnya bisa mengolah kepentingan yang beragam dari masyarakat menjadi suatu kebijakan yang mengakomodasi semua aspirasi mereka, jangan justru saling bertikai. Artinya, parpol memiliki tugas sebagai mesin pembuat kebijakan yang baik untuk rakyat, dan tidak justru membuat kebijakan titipan pihak-pihak tertentu. "Ini yang menyebabkan parpol menjadi kurang ideal, apalagi ada tradisi yang dipegang oleh sumber daya manusia partai itu sendiri, yakni ingin memperjuangkan kepentingan orang-orang dalam parpol tersebut, bukan untuk rakyat," kata dia. Parpol saat ini, kata dia, terlalu sibuk dengan urusannya sendiri-sendiri, orang-orang parpol bertikai untuk memperjuangkan keinginan masing-masing yang akhirnya menimbulkan perpecahan dan melahirkan partai-partai baru. "Kondisi semacam ini justru merapuhkan demokrasi Indonesia yang terbangun melalui sistem kepartaian," kata Purwo. (*)
Copyright © ANTARA 2007