Yogyakarta (ANTARA News) - Menteri Dalam Negeri (Mendagri) yang menjadi pengambil keputusan terhadap keberadaan Institut Pemerintahan Dalam Negeri (IPDN) harus segera mengambil sikap untuk mnegatasi masalah klasik dalam tubuh perguruan tinggi tersebut. Menurut pengamat pendidikan Rochmat Wahab, di Yogyakarta, Selasa, kasus pengeroyokan praja IPDN terhadap warga Jatinangor, Sumedang, Jawa Barat, hingga menyebabkan korban meninggal dunia kembali memperlihatkan model pendidikan seperti apa yang diterapkan di kampus tersebut. "Orang akan menjadi seperti apa yang diterima di perguruan tinggi itu. Selama ini nampaknya mahasiswa mendapat pendidikan militer, dan sudah biasa memperlakukan dan diperlakukan dengan menggunakan kekerasan," kata Wakil Rektor I Universitas Negeri Yogyakarta (UNY) tersebut. Padahal praja IPDN ini merupakan calon pemimpin sipil masa depan bangsa yang mestinya mampu mengayomi masyarakat. "Terjadi inkonsistensi antara proses pendidikan yang diajarkan dengan arahan bidang kerja yang disiapkan," katanya. Lembaga pendidikan, kata dia, seharusnya turut bertanggung jawab terhadap apa yang dihasilkan oleh IPDN. "Tetapi di dalam kampus itu sayangnya kepengurusan justru dipegang para birokrat, bukan pendidik, sehingga lebih mengedepankan kekuasaan dan bukan pemberdayaan," katanya. Ia berharap Mendagri segera mengubah secara drastis sistem pendidikan yang diterapkan di IPDN dengan demiliterisasi dan mengedepankan sikap humanis. "Kalau memang IPDN memiliki ciri khas yang tak dimiliki kampus lain, mengapa tidak dipertahankan," katanya. Tetapi bila hasil pendidikannya ternyata hanya mencetak calon-calon pemimpin dengan kepribadian tidak baik, lebih baik dibubarkan. "Saya setuju dengan wacana pemotongan generasi karena dapat lebih mudah menerapkan format baru pada mahasiswa yang baru. Lagi pula Indonesia tidak akan kekurangan Pegawai Negeri Sipil (PNS) untuk menempati pos-pos lulusan IPDN," katanya. (*)
Copyright © ANTARA 2007