Jakarta (ANTARA News) - Pemerintah menegaskan bahwa Indonesia tidak mendukung pemaksaan keputusan untuk menyelesaikan perkara penentuan masa depan Kosovo. Pernyataan tersebut dikemukakan Direktur Keamanan Internasional Departemen Luar Negeri, Desra Percaya, di Forum Centre for Dialogue and Cooperation among Civilisation (CDCC) di Jakarta, Senin, mengenai sikap Indonesia atas usulan kemerdekaan Kosovo. "Kita menolak pemaksaan solusi. Kita tidak bisa terima. Idealnya adalah tercapai kesepakatan antara Beograd dan Pristina," katanya merujuk pada ibukota negara Serbia serta ibukota Kosovo. Desra menegaskan bahwa Indonesia akan menyetujui dan mendukung apa pun kesepakatan dihasilkan asalkan memperoleh persetujuan sepenuhnya dari Beograd dan Pristina. Sekalipun Martti Ahtisaari --utusan khusus Sekretaris Jenderal Perserikatan Bangsa-Bangsa untuk penentuan masa depan Kosovo-- mengatakan bahwa tidak ada lagi pintu untuk perundingan, menurut Desra, seni dari diplomasi justru terletak pada kemungkinan yang mungkin terjadi, sehingga perundingan selalu terbuka. "Apa iya, pintu untuk berunding sudah benar-benar tertutup?" katanya mempertanyakan dengan menambahkan tentang bagaimana perkara Irlandia Utara pada akhirnya diselesaikan dengan baik setelah menempuh perundingan. Desra menambahkan bahwa sesungguhnya, perkara Kosovo tidak akan menjadi masalah untuk Indonesia jika Beograd dan Pristina dapat mencapai kesepakatan, sehingga kasus itu tidak perlu masuk ke Dewan Keamanan PBB. "Tapi, persoalannya `kan tidak, yang kemudian mempunyai dampak pada kita sebagai anggota Dewan Keamanan. Harapan kita adalah perundingan harus dan juga perlu ada kerangka jelas terkait dengan keanggotaannya di Uni Eropa," tambahnya. Desra mengatakan bahwa jika ada keperluan untuk menciptakan kestabilan di kawasan Balkan, salah satu caranya disebut-sebut melalui lepasnya sejumlah bagian dari Yugoslavia. Namun, katanya, ada keperluan untuk melihat bahwa dalam bentuk apa pun, Serbia dan Kosovo adalah bagian dari Eropa. "Dengan demikian, kepekaan persoalan kedaulatan, wilayah akan berkurang, karena dengan kerangka waktu jelas, pada suatu saat, Serbia dan Kosovo akan menjadi bagian dari `United State of Europe`," katanya. Desra mengakui bahwa hingga saat ini, Indonesia belum mengambil sikap tegas, apakah akan menyetujui kemerdekaan Kosovo, menolak atau abstain. "Perkembangan terakhir di New York --markasbesar Dewan Keamanan--menunjukkan proses masih berlangsung, maka kita masih menunggu perkembangan, apalagi rancangan resolusi juga masih berubah-ubah," katanya. Namun, ia menegaskan bahwa ada keperluan untuk mengkaji apakah badan di PBB, yang terdiri atas 15 negara, dapat dengan mudah membuat resolusi memutuskan kemerdekaan suatu wilayah dari negara anggotanya. Disebutkannya bahwa hal tersebut dapat menjadi preseden tidak sehat bagi negara lain di dunia, sekalipun disebutkan bahwa Kosovo adalah perkara unik. Sementara itu, pada Jumat (20/7), Dewan Keamaman, yang beranggotakan 15 negara, termasuk Indonesia, gagal melaksanakan pemungutan suara dalam rangka penentuan kedudukan Kosovo setelah Rusia secara terang-terangan menyatakan akan menggunakan hak veto (menolak) atas rancangan resolusi itu. Inti rancangan resolusi itu ialah mengatur penyelesaian masa depan Kosovo dengan mengarah ke kemerdekaan, seperti yang diusulkan Martti Athisaari. Dengan kegagalan pemungutan suara tersebut, sponsor akhirnya mengembalikan masalah itu dibahas di luar Dewan Keamanan, yaitu Kelompok Penghubung, yakni Inggris, Prancis, Jerman, Italia, Rusia, dan Amerika Serikat. Rancangan itu, yang telah siap untuk pemungutan suara, antara lain mengatur bahwa Dewan Keamanan akan memberikan waktu 120 hari bagi pihak terkait untuk melakukan pembicaraan guna mencari kemungkinan kesamaan kedudukan di antara mereka. Deputi Wakil Tetap Indonesia untuk PBB Hasan Kleib mengatakan, setidak-tidaknya dua alasan utama memungkinkan Indonesia menyetujui rancangan resolusi itu, yaitu karena rancangan itu menyebutkan dengan jelas bahwa Kosovo adalah kasus unik, sehingga tidak pernah boleh dijadikan preseden oleh Dewan Keamanan terhadap masalah mana pun di dunia. Kedua, Dewan Keamanan tidak menyarankan kemerdekaan Kosovo, karena rancangan resolusi tersebut hanya mengatakan akan memberikan waktu 120 hari bagi pihak bertikai untuk kembali ke meja perundingan guna mencari kompromi dan hasil perundingan dilaporkan kembali kepada Dewan Keamanan. Secara hukum, Kosovo --berpenduduk sebagian besar suku Albania dan suku kecil Serbia-- masih menjadi bagian dari Serbia, namun sejak 1999 dikelola pemerintahan di bawah pengawasan PBB, yang juga digawangi Pakta Pertahanan Atlantik Utara.(*)
Editor: Heru Purwanto
Copyright © ANTARA 2007