Ditemui di kantornya di Jakarta, Selasa, Suahasil mengatakan bahwa pengembangan kebijakan tersebut salah satunya bertujuan untuk memenuhi kebutuhan pendanaan untuk risiko bencana alam.
"Kalau terjadi bencana alam, kita ada BNPB untuk tanggap darurat. Tetapi untuk pembangunan kembalinya biasanya mengandalkan kepada APBN, padahal APBN kalau sudah tahun berikutnya prioritasnya sudah berganti lagi," kata dia.
Suahasil mengatakan penguatan kerangka kebijakan mengenai pembiayaan risiko bencana sudah memasukkan dalam Kebijakan Ekonomi Makro dan Pokok-Pokok Kebijakan Fiskal (KEMPPKF) 2019 dan akan menjadi item yang menjadi topik pembahasan di Dewan.
Arah kebijakan tersebut berangkat dari tantangan intensitas kejadian bencana alam yang tinggi di Indonesia. Kerugian ekonomi akibat bencana besar atau katastropik tercatat Rp126,7 triliun (2004-2013).
Sementara APBN dinilai masih memiliki keterbatasan dalam menyediakan pendanaan bagi kegiatan pengelolaan kebencanaan. Dalam KEMPPKF 2019 disebutkan bahwa alokasi APBN untuk Dana Kontijensi selama 12 tahun terakhir paling tinggi sebesar Rp4 triliun setiap tahunnya.
"Yang penting adalah pola pikir bahwa yang namanya risiko selalu ada, maka harus cover risiko tersebut. Asuransi efisien karena risikonya di-cover bersama-sama," ucap dia.
Mengenai mekanisme dari kebijakan tersebut, Suahasil menyebutkan bahwa pihaknya akan mempelajari kebijakan sejenis di negara-negara lain yang juga rentan terhadap bencana alam.
Pewarta: Roberto Calvinantya Basuki
Editor: Fitri Supratiwi
Copyright © ANTARA 2018