Jakarta (ANTARA News) - Sekretaris Jenderal Partai Persatuan Pembangunan (PPP), Irgan Chairul Mahfiz, mengatakan bahwa pihaknya sangat menyesalkan keputusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang melegalkan keberadaan calon independen dalam pemilihan kepala daerah (pilkada), dan dianggapnya sebagai langkah yang terburu-buru. Menurut Irgan, di Jakarta, Senin, seharusnya MK mendengarkan aspirasi publik tentang sejauh mana pentingnya keberadaan calon independen, serta melakukan kajian yang lebih komprehensif terhadap setiap keputusan yang ditetapkan. "Ada kesan keputusan tersebut mengeliminir fungsi dan peran partai politik sebagai kanalisasi ekspresi politik masyarakat dan menumbuhsuburkan krisis kepercayaan terhadap partai politik seolah-olah parpol sudah tidak mampu lagi melakukan tugas dan fungsinya dalam mengartikulasikan kepentingan masyarakat," ujarnya. Irgan mengatakan, dengan adanya keputusan MK yang meloloskan calon independen, maka terbentuk kesan di masyarakat bahwa calon independen lebih kuat dibandingkan dengan partai politik (parpol).Ia mengatakan, jika diasumsikan bahwa parpol telah "lemah", maka seharusnya dilakukan upaya untuk menguatkannya dan tidak melegitimasinya dengan keputusan untuk meloloskan calon independen. Dia pun menilai, keputusan MK secara perlahan-lahan akan "mematikan mesin parpol" sebagai pilar demokrasi. "Padahal, demokrasi kita adalah demokrasi perwakilan. MK harusnya sadar bahwa eksisnya MK juga hasil proses politik dan visi kenegarawanan partai politik melalui wakilnya di DPR dan MPR RI," kata Irgan. Sementara itu, pada Senin (23/7), MK dalam putusan pengujian Undang-Undang (UU) Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah meloloskan permohonan mengenai pengajuan calon kepala daerah independen atau yang tidak melalui partai politik (parpol). MK berpendapat, pemberlakuan pencalonan kepala daerah secara independen di NAD juga harus diberlakukan di daerah lain, agar tidak terjadi dualisme hukum. "Dualisme tersebut menimbulkan terlanggarnya hak warga negara," kata hakim konstitusi Mukhtie Fadjar saat pembacaan putusan. (*)
Pewarta:
Editor: Priyambodo RH
Copyright © ANTARA 2007