Jakarta (ANTARA News) - Kepala Badan Kebijakan Fiskal (BKF) Departemen Keuangan, Anggito Abimanyu, mengatakan bahwa masalah "cost recovery" lebih merupakan perhitungan teknis sehingga Departemen Keuangan lebih menyerahkan masalah itu kepada Direktorat Jenderal Minyak dan Gas (Ditjen Migas) dan BP Migas. "Soal besarnya 'cost recovery' yang harus dibayar pemerintah, itu soal teknis. Yang lebih tahu adalah Ditjen Migas dan BP Migas. Kita kan diberi informasi saja," katanya di Gedung Departemen Keuangan (Depkeu) Jakarta, Senin. Menurut dia, ada aturan teknis mengenai hal-hal apa saja yang dapat dimasuk dalam "cost recovery" dan mana saja yang tidak dapat dimasukkan. "Apa yang bisa dimasukkan dan apa yang tidak dapat dimasukkan dalam 'cost recovery' kan mereka yang tahu. Mereka juga yang memberi persetujuan," ujar Anggito. Sejumlah kalangan menilai "cost recovery" yang menjadi beban pemerintah melalui Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN), sementara itu produksi minyak tidak menunjukkan adanya peningkatan berarti bahkan sebaliknya, terjadi penurunan. "Cost recovery" pada intinya merupakan pengeluaran negara untuk membiayai investasi pengembangan lapangan migas di Indonesia. Pembayaran "cost recovery" oleh pemerintah adalah untuk mengganti semua biaya yang telah dikeluarkan oleh semua kontraktor bagi hasil migas yang beroperasi di Indonseia untuk memproduksi lapangan migas yang dikelolanya.Laporan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) terhadap penggunaan cost recovery oleh 152 kontraktor kontrak kerja sama (KKKS) tahun 2000 sampai 2006 mencapai senilai Rp122,684 triliun. Dari jumlah itu, didapati indikasi penyimpangan senilai Rp18,067 triliun dari sekitar 43 KKKS. Dalam laporannya, BPK juga menyatakan biaya penggantian operasional kontraktor itu mengalami peningkatan tiap tahun, terhitung sejak 2001 hingga 2005. Cost recovery sektor perminyakan tercatat 2,7 miliar dolar AS pada 2001; 3,05 miliar dolar (2002); 3,17 miliar dolar (2003); 3,18 miliar dolar (2004), dan 4,3 miliar dolar (2005). Sedangkan dalam penambangan gas tercatat 1,6 miliar dolar (2001); 2,0 milar dolar (2002); 2,3 miliar dolar (2003); 2,4 miliar dolar (2004), dan 3,3 milar dolar (2005). (*)

Editor: Priyambodo RH
Copyright © ANTARA 2007