Jakarta (ANTARA News) - Mahkamah Konstitusi (MK) di Jakarta, Senin, dalam putusan pengujian Undang-Undang (UU) Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah (Pemda) meloloskan pengajuan calon kepala daerah independen atau tidak melalui partai politik (Parpol). Uji materi UU Pemda dimohonkan oleh anggota DPRD Kabupaten Lombok, Lalu Ranggalawe dengan kuasa hukum Suriahadi SH. Lalu menganggap pasal-pasal dalam UU nomor 31 itu bertentangan dengan UUD 1945. Pasal-pasal tersebut adalah pasal 56 ayat (2), pasal 59 ayat (1) sampai ayat (4), pasal 59 ayat (5) huruf a dan c, pasal 59 ayat (6), pasal 60 ayat (2) sampai ayat (5) UU Pemerintahan Daerah yang bertentangan dengan alinea IV, pasal 18 ayat (4), pasal 27 ayat (1), pasal 28D ayat (1) dan ayat (3), serta pasal 28I ayat (2) UUD 1945. Pasal-pasal dalam UU Pemerintahan Daerah itu, menurut pemohon, melanggar hak konstitusional warga negara karena membatasi pencalonan kepala daerah secara independen atau yang tidak melalui partai politik. Dalam putusannya, MK hanya megabulkan sebagian dari seluruh pasal yang diajukan pemohon. "Mahkamah mengabulkan permohonan sebagian," kata Ketua MK, Prof DR Jimly Asshiddiqie SH. Pasal yang dikabulkan adalah pasal 56 ayat (2), pasal 59 ayat (1), pasal 59 ayat (2), dan pasal 59 ayat (3). Untuk pasal lain, MK menyatakan, tetap berlaku. Pasal-pasal tersebut memuat ketentuan pencalonan kepala daerah melalui parpol. Menurut MK, ketetentuan pencalonan melalui perpol tetap sesuai dengan UUD 1945, oleh karena itu tetap berlaku. "Mahkamah menolak permohonan yang selebihnya," kata Jimly. MK memutuskan untuk membatalkan pasal 56 ayat (2), pasal 59 ayat (1), pasal 59 ayat (2), dan pasal 59 ayat (3) UU Pemda dengan menghapus seluruh atau sebagian rumusan pasal-pasal tersebut. Pasal 56 ayat (2) dibatalkan melalui penghapusan keseluruhan isi ayat yang berbunyi "Pasangan calon sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diajukan oleh partai politik atau gabungan partai politik". Oleh karena itu, pasal 56 menjadi tanpa ayat dan hanya berbunyi "Kepala daerah dan Wakil kepala daerah dipilih dalam satu pasangan calon yang dilaksanakan secara demokratis berdasarkan asas langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil". Penghapusan itu dilakukan karena ayat (2) tersebut menjadi penghalang pencalonan independen dalam pilkada. Sedangkan untuk pasal 59 ayat (1), pasal 59 ayat (2), dan pasal 59 ayat (3), MK melakukan pembatalan dengan menghapus sebagian rumusan pasal-pasal. Pasal 59 ayat (1) yang semula berbunyi "Peserta pemilihan kepala daerah dan wakil kepala daerah adalah pasangan calon yang diusulkan secara berpasangan oleh partai politik atau gabungan partai politik", diubah menjadi "Peserta pemilihan kepala daerah dan wakil kepala daerah adalah pasangan calon". Kemudian MK juga mengurangi frasa "sebagaimana dimaksud pada ayat (1)" yang terdapat pada pasal 59 ayat (2), sehingga pasal tersebut berbunyi "Partai politik atau gabungan partai politik dapat mendaftarkan pasangan calon apabila memenuhi persyaratan perolehan sekurang-kurangnya 15 persen dari jumlah kursi DPRD atau 15 persen dari akumulasi perolehan suara sah dalam pemilihan umum anggota DPRD di daerah yang bersangkutan". MK juga mengubah pasal 59 ayat (3) yang sebelumnya berbunyi "Partai politik atau gabungan partai politik wajib membuka kesempatan seluas-luasnya bagi bakal calon perseorangan yang memenuhi syarat sebagaimana dimaksud dalam pasal 58 dan selanjutnya memproses bakal calon dimaksud melalui mekanisme yang demokratis dan transparan". Pasal tersebut diubah menjadi "Membuka kesempatan bagi bakal calon perseorangan yang memenuhi syarat sebagaimana dimaksud dalam pasal 58 melalui mekanisme yang demokratis dan transparan". Putusan pembatalan pasal-pasal itu salah satunya didasarkan pada fenomena calon independen dalam pilkada Nangroe Aceh Darussalam (NAD). MK berpendapat, pemberlakuan pencalonan kepala daerah secara independen di NAD juga harus diberlakukan di daerah lain agar tidak terjadi dualisme hukum. "Dualisme tersebut menimbulkan terlanggarnya hak warga negara," kata hakim konstitusi Mukhtie Fadjar saat pembacaan putusan. Pendapat berbeda Dari sembilan hakim konstitusi yang mengadili dan memeriksa perkara tersebut, tiga di antaranya mengutarakan pendapat berbeda (dessenting opinion). Ketiga hakim itu adalah, Roestandi, I Dewa Gede Palguna, dan HAS Natabaya. Mereka menyatakan permohonan uji materi tidak beralasan dan syarat pencalonan kepala daerah melalui parpol tidak bertentangan dengan UUD 1945. Khusus untuk pencalonan independen dalam pilkada NAD, Roestandi mengatakan hal itu tidak dapat dijadikan perbandingan dan alasan untuk memberlakukan hal serupa di daerah lain. Hal itu disebabkan kondisi NAD saat ini tidak memungkinkan pelaksanaan pilkada seperti biasa. Selain itu, ketentuan calon independen dalam pilkada NAD hanya akan diberlakukan untuk satu kali pilkada, sehingga tidak akan terulang pada pilkada berikutnya. (*)
Editor: Priyambodo RH
Copyright © ANTARA 2007