Jakarta (ANTARA News) - Upaya bela negara hingga kini masih banyak disalahartikan oleh sebagian masyarakat. Bela negara kerap dipandang sebagai bagian dari aktivitas militer, dalam bentuk penjagaan kedaulatan negara hingga perang melawan penjajah.
Persepsi itu mungkin cukup kuat diyakini masyarakat pada masa-masa awal Indonesia merdeka, yakni Belanda sempat kembali berusaha menduduki sejumlah wilayah di Tanah Air pada Desember 1948.
Namun, pasukan Belanda berhasil dipukul mundur oleh Tentara Nasional Indonesia (TNI), yang merupakan gabungan dari Tentara Republik Indonesia dengan laskar-laskar serta badan perjuangan rakyat, dan diresmikan pada 3 Juni 1947 oleh Presiden Soekarno.
Lawan Ketidakadilan
Era kepemimpinan Presiden Soeharto yang dikenal dengan masa Orde Baru tidak lagi diusik dengan munculnya penjajah. Kepemimpinannya lebih difokuskan pada pembangunan sejumlah infrastruktur.
Salah satu pembangunan yang menarik perhatian banyak pihak adalah pembuatan jalan bebas hambatan pertama di Indonesia, yakni Tol Jakarta-Bogor-Ciawi (Jagorawi) sepanjang 46 kilometer. Julukan "Bapak Pembangunan" pun disematkan kepadanya.
Walaupun pembangunan digalakan, namun tetap ada kesenjangan yang sangat dalam antara yang kaya dan yang miskin. Daya beli rakyat lemah karena harga-harga mulai membumbung tinggi, perusahaan-perusahaan juga banyak yang terpaksa memutuskan hubungan kerja karyawannya.
Indonesia kemudian dilanda krisis ekonomi pada 1997. Nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika Serikat rendah.
Bahkan, dugaan-dugaan adanya keterlibatan Presiden Soeharto terkait penggunaan uang negara untuk kepentingan pribadi juga mencuat pada tahun itu.
Kondisi tersebut menggerakkan para mahasiswa, dosen, dan rakyat mengadakan demonstrasi besar memprotes dan menuntut Soeharto turun dari jabatannya.
Unjuk rasa mahasiswa sempat pecah pada 12 Mei 1998. Tragedi Trisakti yang merupakan peristiwa penembakan terhadap empat mahasiswa Universitas Trisakti saat demonstrasi, terjadi pada waktu itu.
Empat mahasiswa yang tewas adalah Heri Hertanto (1977 - 1998), Elang Mulia Lesmana (1978-1998), Hafidin Royan (1976 - 1998), dan Hendriawan Sie (1975 - 1998).
Presiden Soeharto pada 21 Mei 1998, dengan berdasarkan Pasal 8 UUD 1945, terpaksa menyerahkan kepemimpinan kepada Bacharuddin Jusuf Habibie, yang saat itu menjabat sebagai wakil presiden.
Koordinator Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (Kontras) Yati Andriani berpendapat para demontrsan dan sejumlah orang yang hilang akibat menentang penguasa saat itu, bisa dikatakan sebagai bentuk bela negara.
Menurut dia, perjuangan para demonstran yang berujung maut, serta tidak kembalinya sejumlah orang hingga saat ini, sesungguhnya disuarakan untuk menyelamatkan masa depan salah satu unsur negara, yakni rakyat.
Jika tidak ada perlawanan saat itu, kata dia, maka kondisi rakyat akan tetap tersandera oleh politik militer yang dijalankan penguasa "bertangan besi" itu, dan tidak ada jaminan kondisi negara akan diperbaiki.
Oleh karena itu, Yati menilai bahwa masyarakat saat ini memiliki hutang sejarah terhadap tokoh-tokoh yang menjadi korban, pada salah satu kasus pelanggaran Hak Asasi Manusia berat tersebut.
Bela Negara "Zaman Now"
Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan (Menkopolhukam) Wiranto menyampaikan kekhawatiranya tentang banyaknya kalangan muda generasi penerus bangsa, yang rasa cinta akan negaranya pada masa Reformasi ini dinilai sudah luntur.
Banyak sebabnya, di antaranya pengaruh budaya asing, berkembangnya teknologi, dan tidak adanya ancaman militer terhadap negara, tutur Menko Polhukam.
Menurut dia, kecintaan terhadap Tanah Air ini harus dibangkitkan lagi, khususnya pada generasi muda. Salah satunya, dengan mengisi kemerdekaan dengan kegiatan-kegiatan yang membangun.
Bela negara, menjadi salah satu alternatif kegiatan yang dinilai dapat memperkuat Bangsa Indonesia.
Mantan Panglima TNI itu menuturkan saat ini pengertian bela negara cakupannya sudah luas, tidak hanya dimaknai soal pertahanan dan kedaulatan negara saja.
Seperti dijelaskan dalam Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2002 Pasal 9 ayat 1, yang berbunyi "Upaya bela negara adalah sikap dan perilaku warga negara yang dijiwai kecintaannya kepada Negara Kesatuan Republik Indonesia berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dalam menjamin kelangsungan hidup bangsa dan negara,".
Menteri Riset, Teknologi, dan Pendidikan Tinggi (Menristekdikti) Mohamad Nasir menambahkan hakekat bela negara yang sesungguhnya adalah semangat untuk membangun bangsa dan negara Indonesia demi kemajuan, kesejahteraan, dan keadilan, menuju masyarakat Indonesia yang madani serta bermartabat.
Mahasiswa sebagai kader bela negara, diharapkan dapat menjadi agen perubahan yang tidak hanya kompeten, tetapi juga nasionalis, peduli terhadap sosial, dan inovatif. Menteri Nasir mengingatkan bahwa inovasi menjadi sangat penting sebagai amunisi generasi muda untuk memajukan negara dan dalam menghadapi tantangan masa depan.
Sementara itu, Ketua DPR RI Bambang Soesatyo menilai gerakan melawan hoax atau berita bohong merupakan perwujudan dari bela negara.
Ia berpesan agar pemuda saat ini tidak hanya memanfaatkan jejaring sosial untuk senang-senang saja, melainkan juga perlu aktif dalam berbagai kegiatan positif yang dapat memajukan bangsa.
Penangkal Radikalisme
Menteri Pertahanan Ryamizard Ryacudu pada beberapa kesempatan mengatakan bahwa program bela negara dapat menghalau paham radikalisme yang kerap menjadi "senjata" para teroris dalam mencuci otak korbannya.
Menurut dia, program bela negara dapat menumbuhkan kebanggaan kepada bangsa dan kecintaan terhadap Tanah Air, sehingga orang-orang yang mengikuti kegiatan tersebut tidak ingin ada tindak kekerasan dan kekacauan yang terjadi di negaranya.
Oleh karena itu, paham-paham tentang kekerasan itu nantinya tidak mempan masuk pada kader-kader program bela negara yang diinisiasi Kementerian Pertahanan, kata dia.
Kegiatan bela negara juga kemudian dianggap dapat menangkal penyebaran dan penambahan teroris.
Pewarta: Agita Tarigan
Editor: Ruslan Burhani
Copyright © ANTARA 2018