Jakarta (ANTARA News) - Dri Arbaningsih yang lahir setahun sebelum proklamasi kemerdekaan RI dikumandangkan, menarik napas panjang manakala ditanya tentang masa depan bangsa ini.

Cucu M. Soeleiman, Wakil Ketua Pendiri Boedi Oetomo, itu mengaku begitu sulit menemukan kata yang tepat untuk menggambarkan bagaimana perasaan dalam hatinya berkecamuk.

Antara prihatin, kecewa, dan kesal bercampur aduk. Sulit baginya membayangkan 20 tahun ke depan akan seperti apa bangsa ini jika kondisinya tidak beranjak membaik.

Doktor lulusan UGM itu sudah lama menekuni studi kebangsaan termasuk nota Kartini sehingga paham betul bagaimana sebuah bangsa berproses dalam setiap dua dekade.

Ia sendiri dipaksa menyaksikan bagaimana generasi muda saat ini mulai kehilangan antusiasmenya pada persoalan kebangsaan.

Mereka laksana tercerabut dari akar budaya bangsanya sehingga komitmen kebangsaannya nyaris tak terbangun sedikitpun.

Hal itu jelas mengundang keprihatinan tersendiri mengingat problem kebangsaan ke depan akan semakin kompleks.

Contoh konkret adalah sudah semakin sedikit generasi muda yang tertarik untuk mendalami sejarah bangsa termasuk untuk datang ke museum-museum.

Dri Arnaningsih mendapati runtuhnya karakter bangsa ini lebih karena disebabkan karena intervensi VOC yang demikian lama berkuasa di Tanah Air.

Indonesia kata dia, selama 350 tahun telah memberikan kesempatan kepada VOC untuk membuat bangsa ini semakin bodoh dan terbelakang. Menurut dia, Indonesia tidaklah dijajah selama itu sebab secara de yure Indonesia dijajah secara administratif oleh Kerajaan Belanda setelah periode tanam paksa kedua yakni 1870-1945.

Setelah itu, Indonesia tidak dijajah namun bangsa ini telah terlanjur mengecilkan dirinya sendiri dalam mental sebagai bangsa yang terus-menerus dijajah.

Padahal ketika masa kerajaan, bangsa ini adalah bangsa maritim dengan kebanggaan yang besar. Maka Dri berpendapat esensi terpenting untuk membuat bangsa Indonesia kembali memiliki karakter kebangsaannya adalah melalui edukasi.

Ia menegaskan edukasi adalah penting untuk mengingatkan kembali kepada leluhur dan para pendahulu bangsa yang bahkan telah mampu melampai cita-cita pada zamannya.


110 Tahun

Kekecewaan Dri Arbaningsih bukan tanpa alasan, sebab sudah 110 tahun berlalu sejak organisasi pergerakan pertama didirikan.

Ketika Boedi Oetomo dibentuk pada 1908, nyatanya bangsa ini tidak beranjak membaik.

Pendidikan di satu kondisi tertentu masih menjadi barang mahal yang tak terbeli bagi rakyat Indonesia. Ada kalanya pendidikan gratis justru hanya sebagai jargon menjelang pemilu.

Setelahnya, ia adalah barang mahal yang terpajang di etalase yang demikian sulit dijangkau.

Hal itulah yang dirasakan langsung oleh dua guru kembar penyelenggara Sekolah Darurat Kartini, Sri Rossyati dan Sri Irianingsih yang akrab dipanggil Rossy dan Ryan di Jakarta.

Rossy dan Ryan yang belum lama ini dinobatkan sebagai Duta Perdamaian oleh Kementerian Sosial ini harus merasakan sulitnya ketika akan meloloskan muridnya untuk mengikuti ujian dan mendapatkan ijazah.

Hanya karena satu sebab bahwa mereka terlahir sebagai masyarakat marjinal yang tidak memiliki akta kelahiran dan kartu keluarga.

Rossy dan Ryan mengajar anak-anak jalanan yang tinggal di kolong-kolong jembatan sehingga sulit bagi mereka untuk bisa memenuhi persyaratan administratif termasuk kepemilikan akta kelahiran.

Lebih sering keduanya berkorban membayar mahal persyaratan yang diminta agar anak-anak itu dapat mengakses pendidikan yang semestinya menjadi hak dan hajat hidup mereka.
Hal terpenting bagi Rossyati dan Irianingsih adalah anak-anak dari keluarga kurang mampu atau anak jalanan dapat merasakan manisnya duduk di bangku sekolah dan mendapatkan ilmu-ilmu yang nantinya bermanfaat bagi masa depan mereka.

Fakta itu sejatinya menjadi ironi tersendiri ketika kebangkitan nasional telah diperingati lebih dari seabad lamanya di bumi pertiwi.


Komitmen Kebangsaan

Masyarakat sebagai bagian penting dari bangsa ini dinilai perlu diingatkan kembali soal komitmen kebangsaan mereka setelah 110 tahun Hari Kebangkitan Nasional (Harkitnas).
Direktur Jenderal Kebudayaan, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Hilmar Farid mengakui peringatan Harkitnas setiap 20 Mei lebih banyak masih merupakan seremoni belaka.

Padahal semestinya menjadi momentum yang penting di tengah masalah kebhinekaan, disintegrasi bangsa, beragam persoalan kompleks yang sedang dihadapi bangsa Indonesia.

Jadi menurut dia penting untuk menegaskan kembali komitmen kebangsaan yang membuat bangsa ini merekat tetap bersatu bukan karena alasan apapun melainkan sebuah komitmen.

Oleh karena itu, ia menekankan pentingnya masyarakat untuk kembali mengingat betapa komitmen kebangsaan telah menyatukan para pemuda dari berbagai pelosok nusantara untuk mendirikan organisasi Boedi Oetomo pada 1908.

Bagaimana para pemuda di masa lalu dengan segala keterbatasannya berhasil mengikatkan diri mereka menjadi satu, modalnya jiwa kebangsaan yang membimbing mereka.

Tujuan utama mereka yang terbesar yakni menyelenggarakan pendidikan untuk kaum marjinal sehingga menurut Hilmar esensi dari solusi persoalan bangsa ini tidak terlepas dari pendidikan untuk semua.

Ia mencontohkan sampai saat ini ternyata masih ada orang-orang yang bersukarela menyelenggarakan pendidikan untuk masyarakat tidak mampu seperti yang dilakukan oleh penyelenggara Sekolah Kartini.

Hal itu tidak lain didorong oleh komitmen kebangsaan yang menurut dia menyadarkan orang-orang tertentu untuk merasa terpanggil melayani bangsa ini.

Oleh karena itu, ia mengajak segenap bangsa ini untuk kembali merenung tentang betapa bangsa ini sejatinya sudah demikian lama membangun komitmen untuk bersatu dalam hal berbangsa, bertanah air, dan berbahasa satu dalam bingkai Indonesia.

Sebab 110 tahun adalah waktu yang cukup panjang untuk membuat para pendiri bangsa dan keturunannya tetap berbangga pada bangsanya, bukan malah kecewa.

Pewarta: Hanni Sofia
Editor: Ruslan Burhani
Copyright © ANTARA 2018