Kalau saya dibawa ke sini oleh orang yang tak dikenal, maka saya pasti tak tahu jalan pulang."
Jakarta (ANTARA News) - Suasana di Istana Merdeka, Jakarta, 21 Mei 1998 itu terasa agak lain karena puluhan orang yang hadir di sana memasang muka tegang.
Hari itu, wartawan-wartawan yang tergabung dalam Wartawan Kelompok Sekretariat Negara alias KS sudah diingatkan untuk meliput sebuah acara yang sangat penting tanpa diberi tahu apa acara yang " sangat penting" itu.
Presiden Soeharto telah hadir di Istana Merdeka. Tampak pula putri tertuanya Siti Hardiyanti Indra Rukmana alias Mbak Tutut, Wakil Presiden Bacharuddin Jusuf Habibie, dan Panglima Angkatan Bersenjata Republik Indonesia Jenderal TNI Wiranto, selain beberapa pembantu terdekat jenderal bintang lima itu.
Tiba-tiba Soeharto mengeluarkan pengumuman singkat hanya sekitar tiga menit. Ia menyatakan berhenti dari jabatan presiden, hal yang tak pernah diduga siapa pun sebelumnya.
Wapres Habibie yang baru menjadi orang kedua dalam pemerintahan sejak sidang MPR pada Oktober 1997 otomatis menjadi Kepala Negara.
Setelah menyampaikan pengumuman itu, Pak Harto meninggalkan Istana Merdeka dengan digandeng Tutut untuk pulang ke rumahnya di Jalan Cendana Nomor 6-8, Jakarta Pusat.
Anehkah suasana ini?
Soeharto yang berkuasa selama 32 tahun setelah menggantikan Presiden pertama Soekarno tidak luput dari berbagai kritik atau bahkan kecaman, terutama dalam tahun-tahun terakhir kekuasaannya.
Dia pernah disebut penguasa otoriter. Puluhan tahun tanpa putus dia menjadi presiden, padahal wakil presidennya berganti-ganti dari Sri Sultan Hamengku Buwono (HB) IX, Adam Malik, Umar Wirahadikusumah, Sudharmono, sampai Try Sutrisno.
Soeharto dianggap sangat membatasi kehadiran partai politik karena hanya membolehkan Partai Persatuan Pembangunan, Partai Demokrasi Indonesia dan Golkar yang saat itu tidak disebut sebagai partai politik.
Selain itu, kaum "oposisi" acap menuduh Soeharto pemimpin yang tak mau memperhatikan aspirasi orang banyak, misalnya dengan membangun proyek mercusuar Taman Mini Indonesia Indah alias TMII yang menggusur lahan puluhan warga setempat dan mendirikan Rumah Sakit Kanker Dharmais di Jakarta Barat
Sudah diduga
Sebetulnya jatuhnya Soeharto sudah bisa diduga beberapa bulan sebelumnya.
Beberapa bulan sebelum jatuh dari singgasananya, saat mengunjungi Mesir, Soeharto bertemu dengan warga Indonesia yang tinggal di Kairo dan sekitarnya.
Saat itu Soeharto menyatakan bahwa dia sudah siap mundur dari kursi kepresidenan asalkan sesuai undang-undang.
Seorang wartawan yang ikut ke Mesir langsung membuat berita tersebut sehingga surat kabar terkemuka di Tanah Air keesokan harinya langsung menurunkan berita dengan judul "Soeharto siap mundur".
Berita itu mendapatkan perhatian luas sekali dari kelompok-kelompok penentang Soeharto, apalagi ucapan ini muncul dari mulut Soeharto sendiri.
Gara-gara menulis berita ini, di kalangan wartawan yang sedang mengikuti kunjungan kenegaraan Soeharto itu, muncul lelucon atau bahkan" desas-desus" bahwa wartawan yang menulis berita itu akan "dilempar atau didorong" dari pesawat Garuda Indonesia yang akan membawa pulang rombongan RI ini.
Setelah tiba di Pangkalan Udara Halim Perdanakusuma, Jakarta Timur, suasana tegang amat terasa karena siang harinya terjadi unjuk rasa besar-besaran di ibu kota Jakarta. Bahkan, pada saat rombongan pulang, di jalan-jalan di Jakarta terlihat bekas-bekas kerusuhan, seperti mobil yang habis terbakar atau toko serta rumah yang dirusak habis oleh penjarah.
Selain karena Soeharto sudah berkuasa 32 tahun sehingga dianggap terlalu lama, ternyata juga ada beberapa faktor lain yang mengakibatkan dia jatuh dari singgasananya.
Harmoko yang telah berulang kali menjadi menteri penerangan sehingga dikenal sebagai pengikut setia Soeharto, misalnya, tiba-tiba sebagai Ketua Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) menunjukkan mendesak sang jenderal besar untuk mundur dari jabatannya.
Perubahan sikap Harmoko dan beberapa menteri dan pejabat tinggi lainnya yang selama ini dikenal sebagai orang-orang terdekat di "ring satu", namun berubah sikap dengan mendesak Soeharto turun, ternyata semakin menambah semangat warga untuk mereformasi zaman.
Akhirnya Soeharto jatuh juga dan suasana keterbukaan mulai terasa di lingkungan Istana kepresidenan, apalagi presidennya kemudian adalah BJ Habibie yang sudah puluhan tahun hidup di Jerman, yang menerapkan sistem demokratis sehingga ahli konstruksi pesawat itu sudah terbiasa hidup dalam suasana keterbukaan.
1,5 tahun
Salah satu kehebatan Habibie adalah walaupun dia hanya berkuasa sekitar 1,5 tahun hingga Oktober 1999, dia berhasil memulihkan kepercayaan dunia luar terhadap situasi politik domestik.
Sejumlah tokoh pejabat asing berdatangan ke Jakarta untuk memperlihatkan bahwa mereka mendukung penuh pemerintah Indonesia. Sejumlah pengusaha asing pun berjanji untuk berinvestasi di Indonesia.
Habibie juga berkeliling ke berbagai daerah untuk menunjukkan bahwa pemerintah Jakarta ingin menenangkan dan memulihkan kehidupan sehari-hari masyarakat, terutama dalam bidang ekonomi.
Sebelum menjadi wakil presiden, Habibie sudah memiliki setumpuk jabatan, seperti menteri riset dan teknologi, ketua Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi, direktur utama PT PAL Surabaya, direktur utama Industri Pesawat Terbang Nusantara atau IPTN, direktur utama PT Pindad, dan banyak lagi.
Olh karena itu, dia dia dikenal sebagai pejabat tinggi yang "cuma "mengenal atau menguasai" jalan Patra Kuningan-MH Thamrin (rumahnya) - Medan Merdeka Selatan-Medan Merdeka Utara Jakarta Pusat serta terbang ke Bandung dan Surabaya untuk meninjau industri-industri strategis yang dipimpinnya.
Tak heran kemudian ketika suatu hari datang ke Pasar Glodok di Jakarta Pusat yang dijarah dalam kerusuhan Mei, sambil berguyon kepada wartawan Habibie berujar, "Kalau saya dibawa ke sini oleh orang yang tak dikenal, maka saya pasti tak tahu jalan pulang."
Habibie juga pernah mendatangi beberapa kota untuk melihat situasi perekonomian, di antaranya Malang di Jawa Timur. Sebagai seorang menteri, Habibie mungkin tidak pernah merasakan suasana sumpek, semrawut dan riuh-rendah pasar tradisional rakyat.
Jatuhnya pemerintahan Soeharto harus diakui telah membawa perubahan-perubahan mendasar dalam kehidupan politik, ekonomi, sosial politik.
Jika dulu, militer mempunyai dwifungsi Angkatan Bersenjata Republik Indonesia (ABRI), sebagai kekuatan pertahanan dan sosial politik, maka sekarang TNI hanya berperan sebagai kekuatan pertahanan, sedangkan fungsi keamanan diserahkan kepada Kepolisian Negara Republik Indonesia (Polri).
Kehidupan pers yang dahulu dikendalikan melalui surat izin usaha penerbitan pers atau SIUPP juga menjadi bebas tanpa apa kewajiban memiliki surat izin apa pun. Bahkan, setiap orang kini bisa mendirikan media tanpa takut dibredel, kecuali membahayakan keamanan umum dan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).
Jatuhnya Soeharto tak bisa dilepaskan dari kesalahan dan kekhilafan pemerintahan Orde Baru.
Oleh karena itu, setelah Soekarno, Soeharto, BJ Habibie, Abdurrahman Wahid, Megawati Soekarnoputri, Susilo Bambang Yudhoyono, dan kini Joko Widodo dan Wakil Presiden Mohammad Jusuf Kalla dan presiden mendatang dengan siapa pun orangnya, Indonesia tak boleh lagi melakukan kesalahan-kesalahan yang sama.
Indonesia harus semakin maju, dengan semua pemimpinnya yang menyadari tugas mereka hanyalah mengabdi dan melayani rakyat Indonesia.
Pewarta: Arnaz F. Firman
Editor: Jafar M Sidik
Copyright © ANTARA 2018