Ketua Asosiasi Kader Sosio-Ekonomi Strategis (AKSES) Suroto di Jakarta, Jumat, mengatakan bahwa sistem ketenagakerjaan Indonesia yang dianggapnya masih feodal tersebut diperparah lagi dengan konsep "outsourching" yang disub-kontrakkan.
"Ini adalah perbudakkan modern yang seharusnya dilarang pemerintah," katanya.
Pemerintah, menurut dia, seharusnya melarang perusahaan melakukan outsourching untuk kegiatan yang menggunakan tenaga upahan per unit ke rumah-rumah tangga.
Contohnya adalah penggunaan tenaga kerja pada industri pembuatan bulu mata dan rambut palsu.
"Di lapangan, orang ada yang bekerja sampai 10 jam sehari hanya dapat upah bersih setiap minggunya sekitar 35 ribu rupiah," katanya.
Ia mengatakan, saat ini banyak sekali praktik lainnya seperti yang terjadi pada industri garmen hingga alas kaki.
Suroto berpendapat, sistem pengupahan minimum yang tanpa dibarengi dengan konsep pembatasan rasio gaji itu jelas tidak berkeadilan untuk pekerja.
"Konsep ini feodalistik sekali dan tidak berperikemanusiaan. Parah lagi kalau ini dijadikan sebagai keunggulan komparatif dengan industri di negara lain. Ini jelas inskonstitusional," katanya.
Negara dengan jumlah tenaga kerja formal hingga 48 juta orang tersebar di seluruh Tanah Air, kata dia, seharusnya menerapkan sistem pembatasan rasio gaji tertinggi dan terendah.
"Kalau mau lebih mutakhir lagi terapkan sistem ESOP (`employee share ownership plan`) atau kepemilikan saham bagi karyawan," katanya.
Ia berpendapat, negara yang maju itu harus membangun ekonominya secara berkeadilan sehingga sistem ekonomi tumbuh tapi harus adil.
"Serikat buruh itu juga seharusnya membawa perbaikan isu strategis yang permanen untuk mengakhiri perbudakan dengan menuntut pembagian saham dan pembatasan rasio gaji dari total biaya overhead dan juga rasio gaji tertinggi dan terendah. Kalau masih seputar isu upah minimum maka perbudakan akan terus langgeng," katanya.
Baca juga: Menteri perindustrian bantah sistem industry 4.0 kurangi jumlah tenaga kerja
Pewarta: Hanni Sofia
Editor: Suryanto
Copyright © ANTARA 2018