Jakarta (ANTARA News) - Kementerian Sosial melakukan pemetaan sosial terhadap anak-anak korban aksi terorisme di Surabaya dan Sidoarjo sebagai upaya memberikan perlindungan kepada mereka.
"Kementerian Sosial telah menerjunkan Sakti Peksos untuk melakukan upaya pendampingan dengan tentunya terus berkoordinasi dengan pihak kepolisian dan lembaga terkait," kata Direktur Jenderal Rehabilitasi Sosial Kemensos Edi Suharto dalam keterangannya yang diterima di Jakarta, Kamis.
Diterjunkannya tim Sakti Peksos atau Satuan Bakti Pekerja Sosial merupakan langkah awal dalam pendampingan sosial dalam rangka perlindungan sosial anak korban jaringan terorisme.
Pemetaan dilakukan sebagai langkah awal di penanganan cepat sambil menunggu rujukan dari pihak kepolisian. Koordinasi yang intensif terus dilakukan Kementerian Sosial dengan pihak terkait.
Pascapengeboman di tiga gereja di Surabaya, tujuh anak dirawat di RS Bhayangkara Polda Jatim. Tiga anak terduga teroris yang bomnya meledak di Rusun Wonocolo Sidoarjo, tiga anak terduga teroris yang ditangkap di Jalan Sikatan dan satu anak berinisial AAP terkait bom di depan Mapolrestabes Surabaya.
Edi menjelaskan, berdasarkan Undang-undang Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perlindungan Anak dalam pasal 59A disebutkan bahwa Pemerintah, Pemerintah Daerah, dan lembaga negara lainnya berkewajiban dan bertanggung jawab untuk memberikan perlindungan khusus kepada anak.
"Oleh karena itu, siapapun kita punya kewajiban untuk melindungi karena mereka punya hak untuk hidup, berkembang, dan mendapat perlindungan," katanya.
Perlindungan Khusus kepada Anak sesuai UU Nomor 35 Tahun 2014 diberikan kepada 15 kategori di antaranya anak dalam situasi darurat, anak yang berhadapan dengan hukum, anak dari kelompok minoritas dan terisolasi, anak yang dieksploitasi secara ekonomi dan/atau seksual dan anak korban jaringan terorisme.
Baca juga: Kemensos jamin pengobatan korban teroris
Baca juga: KPAI siap dampingi anak pelaku teror
Baca juga: LPAI tegaskan anak dilibatkan terorisme adalah korban
Ada empat upaya pemerintah dalam upaya memberikan Perlindungan Khusus bagi Anak sebagaimana diatur dalam undang-undang tersebut.
Pertama, penanganan yang cepat termasuk pengobatan dan/atau rehabilitasi secara fisik, psikis, dan sosial, serta pencegahan penyakit dan gangguan kesehatan lainnya.
Kedua, pendampingan psikososial pada saat pengobatan sampai pemulihan. Ketiga, pemberian bantuan sosial bagi anak yang berasal dari keluarga tidak mampu.
Keempat, pemberian perlindungan dan pendampingan pada setiap proses peradilan.
Edi menjelaskan perlindungan khusus bagi anak korban jaringan terorisme dilakukan melalui upaya edukasi tentang pendidikan, ideologi, dan nilai nasionalisme, konseling tentang bahaya terorisme, rehabilitasi sosial, dan pendampingan sosial.
Direktur Rehabilitasi Sosial Anak Ditjen Rehabilitasi Sosial Nahar mengatakan upaya perlindungan terhadap anak korban jaringan terorisme telah dilakukan pada 2017 terhadap 87 anak bersama dengan 139 orang yang di deportasi dari Suriah melalui Turki yang diduga terkait jaringan terorisme. Mereka menjalani rehabilitasi sosial di Rumah Aman milik Kementerian Sosial.
"Masa rehabilitasi sosial antara satu hingga tiga bulan. Materi yang diberikan seputar wawasan kebangsaan, nilai-nilai keagamaan, toleransi dan keberagaman. Kami bekerja sama dengan Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) dan Densus 88," kata Nahar.
Pewarta: Desi Purnamawati
Editor: Gilang Galiartha
Copyright © ANTARA 2018