Sanur (ANTARA News) - Perserikatan Bangsa Bangsa (PBB) atau UNAMET yang bertugas selaku "wasit" pada seputar penyelenggaraan jajak pendapat rakyat Timor Timur pada 1999, terhitung cukup banyak berbuat dosa. "Cukup banyak penyimpangan yang dilakukan PBB/UNAMET seputar pelaksanaan jajak pendapat, termasuk kekeliruan yang diambil badan dunia itu hingga aksi kerusuhan tidak dapat dikendalikan," kata Ketua Bersama Komisi Kebenaran dan Persahabatan (KKP) Indonesia-Timor Leste, Benjamin Mangkoedilaga, di Sanur-Denpasar, Sabtu. Ketua bersama asal Indonesia itu menyebutkan, Presiden BJ Habibie yang memerintah Indonesia waktu itu, telah memprediksi bahwa dari kelompok manapun yang memang dalam hasil akhir jajak pendapat, pasti akan timbul kerusuhan. "Baik dari kelompok pro kemerdekaan Timtim maupun yang pro otonomi khusus yang menang, pasti akan timbul keributan," kata Presiden Habibie waktu itu, seperti yang ditirukan Benjamin. Terkait dugaan tersebut, Presiden Habibie telah meminta bantuan tenaga pengamanan tambahan dari unsur TNI dan POlri dari daerah Jawa Barat dan Jawa Timur untuk siaga di Timtim pada hari pengumuman hasil jajak pendapat yang telah disepakati dilakukan pada 7 September 1999. Namun apa, lanjut Benjamin, PBB/UNAMET malah kemudian melakukan keputusan yang menyimpang, yakni mengawali dilakukannya pengumuman hasil jajak pendapat, yakni pada tanggal 3 September, dari 7 September 1999 yang telah disepakati bersama. Akibatnya, pasukan tambahan yang dikirimkan ke Timtim dengan mengerahkan kapal-kapal perang, ketika itu masih berada di tengah laut. "Wong pasukan masih di tengah laut, bagaimana bisa mengambil langkah-langkah pengamanan yang diperlukan begitu meletus kerusuhan, beberapa saat setelah pengumuman hasil jajak pendapat dilakukan," ucapnya. Jadi, kata Benjamin, kekeliruan PBB/UNAMET dalam mengambil keputusan dengan memajukan selama kurang lebih empat hari hasil jajak pendapat itu, yang tampaknya turut berberan dalam memunculkan aksi kerusuhaan. "Ya.., paling tidak, kalau pasukan pengamanan dalam jumlah yang cukup sudah ada di lokasi, tentu kerusuhan yang muncul dapat diredam. Tidak seperti saat itu yang sampai menimbulkan korban dalam jumlah cukup banyak," katanya. Terkait persoalan tersebut, pihak KKP telah beberapa kali berniat menghadirkan pejabat dan mantan pejabat PBB/UNAMET yang bertugas waktu itu, untuk didengar keterangannya seputar masalah jajak pendapat. Namun, kata Benjamin, pejabat badan dunia tersebut belum sempat datang pada sidang Dengar Pendapat Terbuka (DPT) seputar jajak pendapat yang digelar KKP. "Tiga kali masa sidang DPT terdahulu, seluruh pejabat PBB dan uNAMET yang kami undang berhalangan hadir. Kini pada sidang yang keempat di Denpasar, lagi-lagi mereka menyatakan tidak bisa datang," kata Benjamin didampingi Dionisio Babo Soares, ketua bersama KKP asal Timor Leste. Padahal, kata Benjamin, kehadiran pejabat organisasi dunia yang banyak tahu masalah seputar jajak pendapat itu sangat penting untuk dapat didengar keterangan atau penjelasasannya di depan sidang DPT KKP. Melalui pengumpulan keterangan dari para petinggi PBB saat itu, KKP senantiasa dapat mengungkap fakta yang sejelas-jelasnya untuk mencari kebenaran yang terjadi seputar jajak pendapat yang berakhir dengan peristiwa kerusuhan dengan jatuhnya korban yang cukup banyak, ujar ketua bersama KKP asal Indonesia. Sidang DPT KKP yang keempat tahun ini, akan diselenggarakan selama dua hari, 23-24 Juli 2007 di Sanur-Denpasar, Bali.(*)
Editor: Ruslan Burhani
Copyright © ANTARA 2007