Jakarta (ANTARA News) - Pengurus Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) Pusat mengingatkan agar revisi UU Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme jangan atau tidak boleh mereduksi kemerdekaan pers.
Dalam pernyataan tertulis di Jakarta, Selasa, terkait dengan serangan teroris berupa peledakan bom bunuh diri di Surabaya dan Sidoarjo, Jatim, dan percepatan penyelesaian revisi UU Terorisme, PWI Pusat memahami keinginan revisi Undang-Undan Nomor 15 Tahun 2003 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2002 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme Menjadi Undang-Undang, dapat segera disetujui dan disahkan.
Namun, PWI dengan tegas mengingatkan agar UU tersebut harus tetap dalam koridor demokrasi dan menjaga kemerdekaan pers.
Revisi UU Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme tidak boleh mereduksi kemerdekaan pers, apalagi sampai membuat kemerdekaan pers terbelengu.
Revisi UU itu harus tetap dalam jalur demokrasi dan menjamin kebebasan menyatakan pendapat, termasuk menjalankan perintah agama.
Revisi UU Nomor 15 Tahun 2003 harus mencegah dan memberantas tindak terorisme sedini mungkin. Namun, tidak boleh memberikan cek kosong kepada penguasa untuk melanggar HAM.
Untuk itu, PWI mengingatkan, terorisme perlu diberantas sampai akar-akarnya, tetapi jangan sampai memadamkan tindak terorisme dengan cara yang mirip tindak terorisme juga.
DPR RI bersama pemerintah menjadwalkan percepatan penyelesaian RUU Perubahan atas UU No. 15/2003 mulai 18 Mei mendatang dan diharapkan pada bulan ini atau selambat-lambatnya Juni sudah dapat diselesaikan dengan disetujui dan disahkan menjadi UU baru.
Memperhatikan dampak
Terkait dengan aksi terorisme dan pemberitaan pers tentang tindak teorisme tersebut, PWI Pusat meminta kepada seluruh pers nasional, khususnya anggota PWI, agar dalam membuat atau menyiarkan berita tentang tindak terorisme, memahami benar tindakan itu bukanlah pelaksanaan dari faham sebuah agama tertentu.
Tindakan terorisme adalah kejahatan berat terhadap kemanusiaan yang dibenci dan ditentang oleh semua agama di Indonesia.
Dengan demikian, pemberitaan tentang tindak terorisme tidak boleh dikaitkan dengan pelabelan agama tertentu.
Baca juga: Soal revisi UU Antiterorisme, Fadli Zon ingatkan agar tak jadi alat pelanggaran HAM
Baca juga: Legislator optimistis revisi UU Antiterorisme rampung sebelum Mei berakhir
Baca juga: Dekan Sospol UGM: pelibatan TNI dalam RUU Terorisme tepat
Baca juga: UU Antiterorisme lindungi HAM lebih besar, kata Mahfud MD
PWI Pusat juga meminta seluruh pers nasional, khususnya kepada anggota PWI, dalam membuat atau menyiarkan tindak terorisme, memperhatikan dampak-dampak yang ditimbulkan dari pemberitaaan tersebut, termasuk dampak sosial budaya dan dampak pemberantasan terorisme.
Disebutkan bahwa walaupun merupakan fakta, unsur sadisme, pelanggaran terhadap hak-hak anak, dan kesengajaan framing yang diciptakan oleh teroris untuk mendukung gerakan terorisme, tetap perlu dipertimbangkan untuk tidak dibuat atau disiarkan.
Kepentingan publik harus menjadi pertama dan utama dalam mempertimbangkan perlu atau tidaknya suatu berita disiarkan.
PWI Pusat tidak henti-hentinya smengingatkan agar para wartawan atau pers nasional dalam membuat atau menyiarkan berita harus selalu berpegang teguh pada Kode Etik Jurnalistik.
Pewarta: Budi Setiawanto
Editor: Gilang Galiartha
Copyright © ANTARA 2018