Jakarta (ANTARA News) - Bupati Lampung Tengah Mustafa didakwa menyuap anggota DPRD setempat senilai Rp9,695 miliar untuk mendapatkan pinjaman PT Sarana Multi Infrastruktur (SMI) senilai Rp300 miliar.

"Terdakwa Mustafa selaku Bupati Lampung Tengah bersama-sama dengan Taufik Rahman selaku Kepala Dinas Bina Marga Kabupaten Lampung Tengah memberi sesuatu sebesar Rp9,695 miliar kepada Anggota DPRD Kabupaten Lampung Tengah periode 2014-2019," kata Ketua Tim Jaksa Penuntut Umum (JPU) KPK Ali Fikri dalam sidang di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Jakarta, Senin.

Anggota DPRD tersebut antara lain Wakil Ketua I dari Fraksi PDIP Natalis Sinaga, Anggota DPRD dari Fraksi PDIP Rusliyanto yang terhadap keduanya dilakukan penuntutan dalam berkas terpisah.

Selain itu, Ketua DPRD Lampung Tengah Achmad Junaidi, Sunardi, Ketua Fraksi PDIP Raden Sugiri, Bunyana dan Ketua Fraksi Gerindra Zainuddin.

"Agar memberikan persetujuan terhadap rencana pinjaman daerah Kabupaten Lampung Tengah kepada PT Sarana Multi Infrastruktur (Persero) atau PT SMI sebesar Rp300 miliar pada TA 2018 dan menandatangani surat pernyataan kesediaan pimpinan DPRD Kabupaten Lampung Tengah untuk dilakukan pemotongan terhadap Dana Alokasi Umum (DAU) dan atau Dana Bagi Hasil (DBU) Lampung Tengah dalam hal terjadi gagal bayar," tambah Ali Fikri.

Uang itu digunakan untuk keperluan pembangunan infrastruktur berupa ruas jalan dan jembatan.

Untuk memenuhi persyaratan pinjaman daerah wajib mendapatkan persetujuan DPRD, Mustafa juga meminta pertimbangan Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) dan dijawab belum dapat memberikan pertimbangan pinjaman daerah karena pemkab Lamteng belum melengkapi persyaratan berupa dokumen Persetujuan DPRD, Rancangan APBD 2018 dan Laporan Keuangan Pemerintah Daerah TA 2016.

Saat 31 Oktober 2017 pada rapat di kantor DPRD, sikap mayoritas fraksi di DPRD Lamteng juga yang tidak setuju dilakukan pinjaman daerah kepada PT SMI kecuali fraksi PKS sehingga Mustafa bertemu dengan Natalis Sinaga di rumah dinas bupati.

"Pada pertemuan tersebut terdakwa meminta agar Natalis dan Fraksi PDIP menyetujui pinjaman daerah dan mengajak dan mempengaruhi anggota DPRD dari Gerindra dan Demokrat untuk menyetujui pinjaman daerah sehingga dapat dituangkan dalam APBD Lamteng TA 2018. Natalis lalu meminta Mustafa agar menyediakan uang sebesar Rp5 miliar untuk unsur pimpinan DPRD, para ketua fraksi dan para anggota DPRD Kabupaten Lamteng," jelas jaksa Ali.

Mustafa menyetujuinya dan menjanjikan akan memenuhi permintaan uang tersebut dengan mengatakan nanti Taufik selaku Kepala Dinas (Kadis) Bina Marga yang akan menyerahkan uangnya. Mustafa lalu meminta Taufik untuk merealisasikan permintaan tersebut.

Namun, Natalis kemudian menyampaikan adanya tambahan permintaan uang Rp3 miliar untuk Ketua Dewan Pimpinan Daerah (DPD) dari Partai Demokrat, PDIP dan Partai Gerindra.

"Natalis mengatakan bahwa apabila para Ketua DPD tersebut tidak diberikan uang kemungkinan partai mereka tidak akan menyetujui pinjaman daerah masuk dalam APBD TA 2018. Taufik bertemu Natalis dan menyampaikan bahwa terdakwa sudah menyetujui permintaannya tambahan uang sebesar Rp3 miliar," ungkap jaksa.

Penyerahan uang total Rp8 miliar tidak diberikan sekaligus karena belum ada uangnya sebanyak itu.

"Terdakwa mengarahkan Taufik agar mengumpulkan uang dengan cara menghubungi para rekanan yang nantinya akan mengerjakan proyek TA 2018 yang dananya berasal dari pinjaman daerah antara lain Simon Susilo dan Budi Winarto alias Awi," tambah jaksa Ali.

Simon bersedia memberikan kontribusi sebesar Rp7,5 miliar dengan imbalan 2 proyek total anggaran Rp67 miliar sedangkan Budi memilih 1 paket proyek pekerjaan senilai Rp40 miliar dengan kontribusi Rp5 miliar.

Uang untuk DPRD direalisasikan secara bertahap pada November-Desember 2017 dengan total penyerahan uang sebesar Rp8,695 miliar.

"Setelah adanya pemberian uang dengan jumlah keseluruhan sebesar Rp8,695 miliar, pada 29 November 2017 dilakukan rapat paripurna DPRD Kabupaten Lamteng yang pada pokoknya pinjaman daerah tersebut dapat disetujui DPRD Lamteng dan dapat dituangkan dalam APBD TA 2018," tambah jaksa.

Setelah APBD Lamteng TA 2018 disahkan DPRD, pemkab Lamteng pun mengajukan permohonan secara resmi pinjaman daerah kepada PT SMI sebesar Rp300 miliar.

Namun PT SMI menginformasikan bahwa ada satu persyaratan lagi yang wajib dipenuhi yaitu berupa Surat Pernyataan dari Kepala Daerah yang juga disetujui Pimpinan DPRD mengenai kesediaan pemotongan Dana Alokasi Umum (DAU) atau Dana Bagi Hasil (DBH) secara langsung apabila di kemudian hari terjadi gagal bayar atas pinjaman daerah tersebut.

Maka selaku Sekretaris Badan Pengelola Pajak dan Retribusi Daerah (BPPRD) Kurtubi membuat konsep surat pernyataan untuk ditandatangani oleh Mustafa selaku Bupati dan 4 pimpinan DPRD yaitu Achmad Junaidi Sunardi selaku Ketua DPRD, Natalis Sinaga selaku Wakil Ketua I DPRD, Riagus Ria selaku Wakil Ketua II DPRD dan Joni Hardito selaku Wakil Ketua III DPRD Lamteng.

Namun Natalis menyampaikan bahwa Taufik belum memenuhi janjinya untuk memberikan uang kepada pimpinan DPRD sebesar Rp2,5 miliar dan apabila Taufik tidak memenuhi janjinya maka Natalis dan pimpinan DPRD lainnya tidak akan menandatangani Surat Pernyataan mengenai kesediaan pemotongan DAU atau DBH yang saat itu belum ditandatangani tiga pimpinan DPRD yaitu Achmad Junaidi, Natalis Sinaga dan Riagus Ria.

Mustafa lalu meminta Taufik untuk mencari rekanan yang belum membayar kontribusi proyek di Dinas Bina Marga Tahun Anggaran 2018 dan didapat rekanan Miftahullah Maharano Agung alias Rano untuk memberikan kontribusi proyek TA 2018 sebesar Rp900 juta. Taufik lalu memerintahkan Supranowo untuk menggenapkan uang tersebut menjadi Rp1 miliar. Uang lalu diberikan pada 13 Februari 2018.

"Setelah itu petugas KPK melakukan penangkapan terhadap Natalis dan Rusliyanto serta mengamankan uang pemberian terdakwa melalui Taufik sebesar Rp1 miliar namun setelah dihitung jumlahnya hanya sebesar Rp996,15 juta.

Mustafa didakwa berdasarkan pasal 5 ayat (1) huruf a UU No 31 Tahun 1999 sebagaimana diubah UU No 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP juncto Pasal 64 ayat (1) KUHP.

Pasal itu yang mengatur mengenai orang yang memberi sesuatu kepada pegawai negeri atau penyelenggara negara dengan maksud supaya pegawai negeri atau penyelenggara negara tersebut berbuat atau tidak berbuat sesuatu dalam jabatannya, yang bertentangan dengan kewajibannya dengan ancaman hukuman minimal 1 tahun penjara dan maksimal 5 tahun penjara dan denda paling sedikit Rp50 juta dan paling banyak Rp250 juta.

Atas dakwaan itu, Mustafa tidak mengajukan keberatan. Sidang dilanjutkan pada 17 Mei 2018.

Bupati nonaktif Lampung Tengah Mustafa menjalani sidang perdana pembacaan dakwaan di Pengadilan Tipikor, Jakarta, Senin (14/5/2018). Mustafa didakwa menyuap sejumlah anggota DPRD Lampung Tengah sebesar Rp 9,6 miliar terkait persetujuan pinjaman daerah tahun anggaran 2018. (ANTARA FOTO/Dhemas Reviyanto)

Baca juga: KPK panggil empat saksi kasus suap Lampung Tengah

Pewarta: Desca Lidya Natalia
Editor: Suryanto
Copyright © ANTARA 2018