Meski relatif belum terlalu dikenal seperti negara tetangganya yaitu Thailand dan Vietnam, namun Laos juga ternyata menyimpan beragam objek wisata yang sangat indah dan memukau bagi pelancong yang melawat ke jantung kawasan Indochina tersebut.

Saat tiba di Bandara Internasional Wattay pada awal Mei 2018, sejumlah wartawan Indonesia termasuk Antara, memang merasakan bahwa bandara tersebut tidak semegah sejumlah bandara internasional yang berada di ibukota di negara-negara kawasan Asia Tenggara lainnya.

Sedangkan untuk rute penerbangan, belum ada maskapai dari Indonesia yang membuka jalur penerbangan langsung antara RI dan Laos.

Untuk itu, biasanya pendatang dari Indonesia tiba di Laos setelah melakukan transit baik di Bangkok (Thailand) maupun Kuala Lumpur (Malaysia).

Namun, setelah keluar dari bandara, tampak ada aura yang berbeda yang biasanya kerap ditemui di sejumlah kota besar, yaitu nyaris tidak ada suara bising.

Bahkan, ketika melakukan perjalanan menggunakan kendaraan di berbagai jalan raya Vientiane, ibukota Laos, Antara tidak mendengar ada satu klakson pun dari kendaraan, padahal kondisi tidak dalam kondisi sepi.

Toro, seorang warga negara Indonesia yang sudah tinggal belasan tahun di Laos, memang menyatakan bahwa warga di Laos memang hampir tidak pernah membunyikan klakson kendaraannya.

"Kalau klakson dibunyikan maka kita akan dipandang orang, mungkin orang itu menyangka kita keluarganya atau orang yang kita kenal," seloroh Toro.

Atmosfir yang jauh dari hiruk pikuk tersebut (sangat kontras dengan kemacetan parah yang kerap ditemui di Jakarta), membuat suasana juga menjadi sangat rileks.

Sebagaimana sebuah negara yang sedang berkembang pesat, terlihat pula sejumlah pembangunan bangunan tinggi di sejumlah titik di Vientiane.

Di antaranya, ada bangunan bertajuk World Trade Center yang bakal dibangun oleh China di sebelah Vientiane Center, mal terbesar di Laos.

Kekayaan budaya

Namun, tidak berarti Laos meninggalkan tradisi dan kekayaan budayanya, karena banyak sekali kita melihat stupa dan kuil-kuil Budha yang sangat indah yang bertebaran di sisi jalan raya di berbagai sisi Vientiane.

Dari sisi sejarahnya, Vientiane yang menurut legenda diciptakan oleh sosok Naga Souvannanak, pada perkembangannya menjadi bagian penting dari Kerajaan Lan Xang, yang berarti Ribuan Gajah, pada abad ke-16.

Pada masa kolonial, Vientiane menjadi ibukota protektorat Prancis, dan setelah kemerdekaan pada tahun 1953, kota berpenduduk sekitar 700.000 orang itu menjadi ibukota negara tersebut.

Sementara pada abad ke-21 ini, Vientiane juga sempat sukses menggelar penyelenggaraan SEA Games ke-25 tepatnya pada tahun 2009.

Simbol nasional dari Laos adalah That Luang (Stupa Besar), yang merupakan monumen paling sakral yang terdapat di Vientiane.

Bangunan Buddhis yang dibangun pada tahun 1556 oleh Raja Saysentthathrath itu memiliki stupa keemasan setinggi 45 meter.

Sepanjang catatan sejarah, That Luang beberapa kali dirusak oleh pasukan yang datang dari Burma, China dan Siam selama abad ke-18 dan ke-19, sebelum Laos dijajah oleh Prancis.

Di sekitar That Luang juga terdapat beberapa kuil Buddha dan ruang terbuka hijau yang kerap digunakan oleh warga Laos dan turis untuk melakukan berbagai aktivitas sehari-hari.

Menurut pemandu lokal Chanmani, pada perayaan Festival Boun That Luang setiap November, monumen dan taman di sekitarnya akan dipenuhi oleh masyarakat dan wisatawan dari sejumlah negara tetangga.

Ribuan orang akan datang dan berdoa serta menikmati serangkaian acara keagamaan dan parade yang diwarnai pertunjukan musik.

Patuxay

Sedangkan salah satu bangunan menakjubkan yang kerap menjadi magnet turis di Vientiane adalah Patuxay, atau monumen yang konstruksi bangunannnya terinspirasi dari Arc de Triomphe di Paris, Prancis.

Patuxay yang berarti Gembang Kemenangan, merupakan monumen untuk mengenang perang dan jasa-jasa para pahlawan yang berjuang memperoleh kemerdekaan, yang dibangun antara tahun 1957 hingga 1968.

Wisatawan yang ingin juga dapat menaiki monumen setinggi tujuh lantai tersebut dengan membayar tiket masuk 3000 kip (1 kip setara Rp1,67).

Di setiap lantai, para pengunjung dapat menemui sejumlah pedagang yang menjajakan sejumlah barang dagangan seperti kain khas Laos hingga pernak-pernik lainnya.

Namun, tidak seperti di sejumlah tempat wisata yang ditemui di negara lain, para pedagang di Patuxay tidak menawarkan barang dagangannya secara agresif.

Mungkin hal tersebut juga terbantu dengan aura kedamaian yang dengan mudah ditemui di berbagai suasana di ibukota Laos tersebut.

Sedangkan di lantai paling atas, orang-orang dapat menyaksikan panorama atau bentangan Vientiane ke empat penjuru kota.

Tidak hanya That Luang dan Patuxay, Vientiane juga memiliki That Dam (Stupa Hitam) yang merupakan salah satu stupa yang tersisa setelah penyerangan Kerajaan Siam pada abad ke 17. Stupa tersebut kini telah ditumbuhi tanaman lumut di sekelilingnya yang menambah eksotis bangunan itu.

Selain itu, bagi mereka yang ingin menikmati romantisme pemandangan alam juga dapat menikmati suasana matahari terbenam d Sungai Mekong, yang membelah antara negeri Laos dan Thailand.

Pemerintah Laos juga telah membangun tempat yang nyaman bagi warga untuk dapat duduk-duduk atau melakukan aktivitas seperti aerobik bersama setiap sore hari. juga ada beragam restoran.


Warisan dunia

Sebenarnya tidak hanya di Vientiane, Laos juga memiliki Luang Prabang, kota di Laos bagian utara, yang merupakan bagian dari "UNESCO Town Of Luang Prabang World Heritage Site".

Kota tersebut terdaftar sebagai warisan dunia dari UNESCO sejak tahun 1995 karena keunikan dan bentuk arsitektur serta warisan keagamaan dan budaya yang sangat telestarikan dengan baik.

Di Luang Prabang yang memiliki beragam kuil dan biara Budha itu, setiap pagi dapat disaksikan ratusan biksu dari banyak biara yang berjalan kaki di jalanan kota.

Dengan banyaknya mutiara keindahan, tidak mengherankan bila turisme menjadi sektor yang berkembang pesat di Laos yang tidak memiliki garis pantai tersebut.

Meski demikian, pada tahun 2017, berdasarkan data resmi pemerintahan Laos, jumlah pelancong asing yang berkunjung adalah sebesar 3,86 juta orang, atau menurun 8,73 persen dibandingkan tahun sebelumnya.

Menurut data tersebut, jumlah turis dari Eropa berkurang 27 persen, jumlah turis dari Amerika berkurang 26 persen, dan jumlah turis dari negara-negara ASEAN berkurang 11 persen.

Data Kementerian Informasi, Budaya dan Turisme Laos menyatakan, hanya jumlah pengunjung China yang mengalami peningkatan pada 2017 dibanding tahun sebelumnya.

Sebagaimana dikutip dari situs berita laotiantimes.com, Deputi Direktur Divisi Riset dan Administrasi Turisme Bounthavy Sisava mengatakan, pihaknya sedang mengkaji fenomena turunnya jumlah wisatawan untuk berupaya memahami situasinya.

Untuk mengatasinya, sejumlah solusi yang ditawarkan oleh pemerintah Laos antara lain adalah dengan meluncurkan inisiatif "Visit Laos Year 2018" yang menekankan beragam festival lokal untuk meningkatkan jumlah turis kembali.

Pewarta: M Razi Rahman
Editor: Unggul Tri Ratomo
Copyright © ANTARA 2018