Jakarta (ANTARA News) - Komisi Pemilihan Umum (KPU) meminta Departemen Hukum dan Hak Asasi Manusia (Depkum dan HAM) menyelesaikan pengesahan partai politik (parpol) sebagai badan hukum pada Maret 2008, sehingga pada April 2008 KPU bisa mulai melakukan tahapan pendaftaran dan verifikasi partai peserta Pemilu 2009. "Dalam jadwal kami, pada April 2008 KPU mulai pendaftaran dan verifikasi parpol peserta pemilu. Tidak bisa mundur lagi dari itu, kalau mundur maka tahapannya tinggal sebulan dua bulan, dan itu akan mengganggu kualitas pemilu," kata Wakil Ketua KPU, Ramlan Surbakti, di Kantor Presiden, Jakarta, Jumat, usai bertemu Presiden Susilo Bambang Yudhoyono. Dalam pertemuan dengan Presiden, dari pihak KPU hadir Ramlan Surbakti, serta Anggota KPU, Valina Sinka Subekti dan Chusnul Mar'iyah, serta Pelaksana Tugas (Plt) Sekretaris Jenderal (Sesjen) KPU, Aries Djaenuri. Sementara itu, Presiden didampingi oleh Wakil Presiden (Wapres), M. Jusuf Kalla, Menkopolhukam yang juga Mendagri "ad interim", Widodo AS, Menko Perekonomian, Boediono, Menteri Pendayagunaan dan Aparatur Negara (Menpan), Taufik Effendi, dan Mensesneg, Hatta Radjasa. "Karena itu, KPU minta akhir Maret 2008 Depkum HAM sudah harus mengumumkan parpol-parpol ," kata Ramlan. Menurut dia, apabila verifikasi partai mundur dari April 2008, maka dikhawatirkan akan mengganggu kualitas pemilihan umum (pemilu), karena seluruh jadwal proses pemilu akan terpengaruh oleh hasil verifikasi. Dalam pertemuan dengan Kepala Negara, KPU juga mengingatkan pemerintah mengenai ketentuan pasal 38 Undang-undang Nomor 22 tahun 2007 tentang Penyelenggara Pemilu, yang dapat menimbulkan "chaos". Pasal 38 menyebutkan bahwa jika hasil rapat pleno tentang penghitungan suara tidak ditandatangi oleh Ketua KPU setempat maka bisa ditandatangani oleh anggota. Tetapi kalau anggota tidak mau tandatangan maka tetap hasil pemungutan dinyatakan sah. "Kami melihat ini ada suatu peluang terjadinya 'chaos'. Karena ketika mereka menggugat hasil pemilu ke Mahkamah Konstitusi (MK) yang muncul adalah hasil perhitungan suara tanpa tanda tangan anggota KPU. Jadi, semua mengajukan dokumen itu dan mengklaim mereka yang paling benar," katanya. Oleh karena ketentuan itu sudah terlanjur ada dalam UU Nomor 22/2007, maka KPU meminta kepada pemerintah, agar merevisi ketentuan itu dalam Paket RUU Politik yang kini dibahas bersama DPR. Selain itu, ia mengemukakan, KPU juga meminta Presiden mengeluarkan Peraturan Presiden (Perpres) yang menindaklanjuti pasal 121 UU Nomor 22/2007. Pasal tersebut menyebutkan bahwa dalam menjalankan tugas, kewenangan, dan kewajibannya, KPU, KPUD Provinsi/Kabupaten/Kota dapat bekerjasama dengan pemerintah pusat dan daerah, serta dapat menerima fasiltas dan bantuan sesuai dengan ketentuan dan perundang-undangan. "Secara khusus, kami minta, agar diatur secara rinci karena beberapa teman kami di daerah sudah masuk penjara gara-gara ini. Mereka menerima anggaran 'double' dari APBN dan APBD. Padahal, menurut UU, anggaran KPU berasal dari APBN dan APBD," katanya. KPU dalam pertemuan dengan Presiden juga mengingatkan, agar dalam Paket RUU Politik tidak ada pasal atau ayat yang menetapkan jangka waktu distribusi logistik. "Untuk Pulau Jawa bisa, tetapi untuk daerah lain tidak. Ada daerah yang amat terpencil, dan ini bisa jadi hambatan. Dulu, Pemilu 2004, sampai memerlukan Perpu untuk mengatasi keterlambatan pengiriman logistik pemilu. Karena itu, ketentuan ini dihilangkan saja, serahkan ke KPU karena ini menyangkut teknis," katanya menambahkan. (*)

Editor: Priyambodo RH
Copyright © ANTARA 2007