Jakarta (ANTARA News) - Seluruh fraksi dalam Rapat Paripurna DPR yang dipimpin oleh Wakil Ketua DPR, Muhaimin Iskandar, di Gedung DPR/MPR pada Jumat menyepakati Rancangan Undang-Undang (RUU) Cukai, yang merupakan revisi UU Nomor 11/1995 tentang cukai, untuk disahkan menjadi UU. Ketua Panitia Khusus (Pansus) UU Cukai, Irmadi Loebis, menjelaskan bahwa UU itu menetapkan tarif cukai tertinggi untuk produk tembakau adalah 57 persen dari harga jual eceran, sedangkan tarif cukai tertinggi untuk produk lainnya (etil alkohol-red) adalah 80 persen dari harga jual eceran. Dia mengemukakan, penerimaan negara dari cukai hasil tembakau dibagikan kepada provinsi penghasil cukai hasil tembakau sebesar 2 persen dari setoran cukai provinsi tersebut untuk mendanai peningkatan kualitas bahan baku, pembinaan industri, pembinaan lingkungan sosial, sosialisasi ketentuan di bidang cukai, dan pemberantasan barang kena cukai ilegal. Dana bagi hasil (DBH) cukai tersebut diberikan kepada daerah penghasil dengan komposisi, 30 persen untuk provinsi, 40 persen untuk kabupaten/kota penghasil, dan 30 persen untuk kabupaten/kota lainnya di provinsi tersebut. Irmadi juga menambahkan, kategori barang kena cukai dalam UU tersebut ditetapkan, yaitu barang yang konsumsinya perlu dikendalikan, barang yang peredarannya perlu diawasi, barang yang yang pemakaiannya dapat menimbulkan dampak negatif bagi masyarakat atau lingkungan hidup, serta barang yang pemakaiannya perlu pembebanan pungutan negara demi keadilan dan keseimbangan. Dalam pandangan akhir Fraksi Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) yang dibacakan oleh Nusirwan Suyono, mereka berharap revisi itu dapat mengamankan penerimaan negara dari cukai dengan pemberantasan kejahatan yang terjadi dalam sistem perekonomian Indonesia, khususnya yang berkaitan dengan penyalahgunaan kewenangan pemalsuan pita cukai dan/atau tanda pelunasan cukai lainnya. "Fraksi PDIP menolak setiap kebijakan cukai yang tidak memberi perlindungan dan pengembangan industri rokok, utamanya pabrik rokok skala kecil yang jumlahnya cukup besar," katanya. Dia mengatakan, perubahan UU itu harus lebih menjamin kepastian hukum, keadilan, transaparansi, dan akuntabilitas pelayanan publik serta meningkatkan efektifitas pengawasan penggunaan cukai dalam mendukung kelancaran penerimaan negara. "Ketentuan yang dimuat dalam UU cukai ini sangat diharapkan memberikan kepastian mengenai kriteria terjadinya tindak pidana pemalsuan pita cukai dan tanda pelunasan cukai lainnya serta ketentuan sanksi pidana yang semakin berat untuk menciptakan efek jera," katanya. Mereka berharap, penerapan kebijakan tarif maksimal dan penerapan DBH untuk daerah penghasil rokok, tidak berdampak pada industri rokok dan daerah lain. Sedangkan, Menteri Keuangan (Menkeu), Sri Mulyani, saat menyampaikan pandangan akhir pemerintah menjanjikan bahwa pemerintah akan segera merealisasikan serangkaian persiapan penerapannya. "Dengan selesainya pembahasan RUU tentang perubahan atas UU Nomor 11/1995 tentang cukai ini, pemerintah akan segera melakukan persiapan-persiapan untuk penerapannya, terutama dalam aspek sumber daya manusia dan lainnya," katanya menambahkan. (*)

Editor: Priyambodo RH
Copyright © ANTARA 2007