Batam (ANTARA News) - Dewan Pers dapat membuat pedoman bagi media massa nasional agar menggunakan sebutan Tionghoa daripada Cina/China bagi WNI asal suku Tionghoa yang merupakan bagian dari bangsa Indonesia. Namun, untuk itu perlu ada masukan atau usul dari pihak-pihak yang terkait, kata anggota Dewan Pers Wikrama Iryans Abidin dalam Lokakarya Etika dan Perlindungan Pers yang diselenggarakan Dewan Pers bersama Friedrich-Ebert-Stiftung, di Batam, Kamis. Ia sendiri menganjurkan pers nasional menggunakan sebutan Tionghoa karena lebih bijak dan bagi kebanyakan orang Tionghoa, tidak menyakitkan. Harian Merdeka dan Majalah Sinar konsisten menggunakan istilah Tionghoa. Setelah Reformasi 1998 sampai sekarang semakin banyak media yang memakai istilah Tionghoa, namun tak sedikit pula yang masih memakai sebutan Cina atau China. Wikrama, mantan Pemimpin Umum Majalah Sinar dan sekarang berprofesi sebagai notaris menyatakan, kliennya dari kaum Tionghoa pada umumnya merasa lebih bisa menerima disebut Tionghoa. Dalam lokakarya tersebut, Sekretaris Eksekutif Dewan Pers Lukas Luwarso mengatakan Dewan Pers belum membuat pedoman atau peraturan untuk media mengenai penyebutan yang tepat apakah Cina, China atau Tionghoa Seperti yang berlaku di Amerika Serikat, Dewan Pers menyerahkan pemilihan istilah seperti itu kepada masing-masing media, katanya. Nara sumber lain, Wakil Ketua Komisi Penyiaran Indonesia Daerah Kepulauan Riau Lisya Anggraini berpendapat, penyebutan China dalam konteks warga salah suku di Indonesia tidak lagi layak dipakai media massa. Ia mengatakan penggunaan istilah Cina/China untuk warga suku Tionghoa semestinya sudah dihapus dari media setelah terbit Undang-undang No 29/1999 tentang Pengesahan Konvensi Internasional tentang Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi Rasial 1965. Cina sebagai istilah lebih merujuk pada suatu bangsa (China), sedangkan orang Tionghoa di Indonesia merupakan salah satu dari beragam suku dari bangsa Indonesia, katanya.(*)
Editor: Ruslan Burhani
Copyright © ANTARA 2007