Pangkalpinang (ANTARA News) - Perusahaan pengolahan minyak sawit kasar (CPO) di Provinsi Kepulauan Bangka Belitung (Babel), sebagian masih enggan mentaati peraturan pemerintah untuk menjual hasil CPO-nya di dalam negeri (DN), karena masalah selisih harga di dalam negeri (DN) dan pasar ekspor masih terpaut tinggi. Kasubdin Perkebunan Dinas Pertanian dan Kehutanan Provinsi Kepulauan Bangka Belitung Chatamarrasyid, di Pangkalpinang, Jumat, mengatakan, masalah harga itu menyebabkan pemilik perusahaan kurang memiliki nasionalisme dan masih berorientasi profit (keuntungan) dengan memilih menjual CPO-nya ke luar negeri. Selisih harga CPO (Crude palm oil) di dalam negeri dan luar negeri bisa mencapai 3.000 dollar AS permetrik ton. Selisih yang cukup besar itu telah mendorong pengusaha lebih memilih ekspor. "Kita tentunya menginginkan kebutuhan minyak di dalam negeri dipenuhi, agar tidak terjadi kelangkaan minyak yang memicu gejolak harga seperti beberapa waktu lalu. Bila pembatasan ekspor diterapkan maka pasokan bahan baku minyak akan terjamin," ujarnya. Upaya pemerintah dengan menaikkan pajak ekspor CPO, tetap tidak akan banyak membantu bila pengusaha kurang memiliki kepedulian dalam mentaati peraturan itu. Di Bangka Belitung beberapa perusahaan seperti Sawindo Perkasa, telah melaksanakan ketentuan itu, begitu juga beberapa perusahaan lain, namun ada juga perusahaan PMDN yang tetap berorientasi ekspor untuk mengejar harga tinggi. Ia mengatakan, sanksi hukum bagi perusahaan yang belum mentaati peraturan belum ada. Paling secara moral mereka akan malu bila diumumkan tidak mentaati peraturan dan kurang memiliki rasa nasionalisme. Kebutuhan minyak sawit di dalam negeri relatif stabil, sementara produksi CPO terus mengalami peningkatan.(*)
Editor: Ruslan Burhani
Copyright © ANTARA 2007