Kuala Lumpur (ANTARA News) - Komisioner Komisi Pemilihan Umum (KPU) Pusat Viryan menegaskan warga negara Indonesia (WNI) yang tidak memiliki dokumen kependudukan tidak bisa memilih pada Pemilu 2019.
Viryan menegaskan ketentuan adanya dokumen kependudukan itu, saat menjawab pertanyaan salah satu peserta Bimbingan Teknis Panitia Pemilihan Luar Negeri dan Data Pemilih Luar Negeri Untuk Pemilu 2019, di Kuala Lumpur, Minggu.
Saat tanya jawab Ketua PPLN Kuala Lumpur Agung Cahya Sumirat berpendapat kalau dokumen hanya dibatasi paspor dan KTP, sepertinya akan menyulitkan karena banyak WNI tidak memilikinya atau memiliki kedua dokumen tetapi sudah expired (kedaluwarsa).
Tingkat partisipasi Pemilu 2014 di Malaysia relatif rendah dari Daftar Pemilih Tetap (DPT) 426.000 partisipasi untuk pemilu legislatif sekitar 11 persen dan untuk pilpres mendekati 30 persen.
"Dalam Peraturan KPU Nomor 11 Tahun 2018 disebutkan paspor, KTP elektronik atau Surat Perjalanan Laksana Paspor (SPLP). Dokumen lain selain SPLP ini sedang dirumuskan oleh Pokja Pemilu Luar Negeri," katanya lagi.
Viryan mengatakan, pihaknya sedang intens berbicara karena masalah dokumen adalah persoalan sensitif sebagai contoh, awalnya pihaknya berfokus pada paspor dengan alamat luar negeri dan KTP elektronik kemudian ada masukan dari Pokja PLN Kemenlu untuk memasukkan SPLP.
"Jadi diskusi pertama dua kemudian menjadi tiga. Sekarang kalau dengan tiga dokumen bisa jadi ratusan ribu yang tidak masuk, tapi perlu diingat kita juga tidak bisa membiarkan sama sekali tidak ada dokumen karena nanti larinya ke isu manipulasi hasil," katanya lagi.
Karena itu, KPU berusaha membuat gerakan pencocokan dan penelitian (coklit) sejak dini.
"Kenapa dibuat gerakan coklit serentak. Untuk menggemakan ini sejak awal. Dimunculkan sejak sekarang. Kalau tidak dibikin gerakan seperti kemarin nanti munculnya di akhir. Karena muncul di awal silakan dicatat dulu sambil nanti ada edaran karena masih Daftar Pemilih Sementara," katanya pula.
Seperti dalam pilkada, ujar dia, sampai DPS semua dicatat kemudian nanti yang belum mempunyai KTP dan surat keterangan dikoordinasikan dengan Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil.
"Seperti kasus sekarang ada kurang lebih satu juta dari 151 juta yang sudah dicoret. Awalnya masuk dalam DPS karena tidak ada surat keterangannya. Hal tersebut yang akan dilakukan sekarang," katanya.
Dia mengatakan akan ada aturan-aturan teknis, sehingga akan ada kepastian sebelum Daftar Pemilih Tetap (DPT) ditetapkan legalitasnya, sehingga dimungkinkan bagi pemilih yang sama sekali tidak memiliki dokumen kependudukan tidak bisa memilih.
"Kalau dulu asal datang dikeluarkan SPLP oleh KBRI atau KJRI yang bersangkutan bisa memilih. Mekanisme itu dimungkinkan masuk daftar pemilih tambahan, tetapi isunya sekarang kapan batas akhir surat keterangan bisa dikeluarkan," katanya pula.
Karena itu, ujar dia, akan ada konsekuensi pemilih yang sama sekali tidak mempunyai dokumen kependudukan tidak bisa memilih meskipun WNI.
"Di dalam negeri yang tidak punya KTP elektronik tidak bisa memilih. Lantas bagaimana. Kalau dia punya kartu keluarga, kalau sekarang silakan diberi tanda," katanya lagi.
Viryan memberi contoh misalnya setelah dihitung pada pemilu luar negeri terdapat angka tiga juta, sedangkan yang KTP elektronik dan paspor hanya 1,5 juta, maka kalau tidak berhati-hati ada yang mengatakan untuk 1,5 juta tidak sesuai konstitusi maka perlu hati-hati.
Baca juga: Mahathir Mohamad bertemu Anwar Ibrahim bahas kabinet
Pewarta: Agus Setiawan
Editor: Ida Nurcahyani
Copyright © ANTARA 2018