Surabaya (ANTARA News) - Aktivis pembelaan atas hak-hak anak mengemukakan bahwa tayangan kekerasan di sejumlah stasiun televisi telah ikut andil membentuk prilaku kekerasan di kalangan anak-anak. "Salah satu contohnya adalah anak dari Kediri yang membunuh anak kecil, katanya terinspirasi dari tayangan telvisi, khususnya di berita kriminal," kata Ketua Lembaga Perlindungan Anak (LPA) Jatim, Dr dr Sri Adiningsih, kepada ANTARA di Surabaya, Jumat. Ia mengemukakan bahwa tayangan-tayangan kriminal yang menggambarkan secara teknis kejadiannya telah memberikan "pembelajaran" pada anak-anak untuk melakukan hal serupa jika menghadapi suatu masalah. "Mungkin kalau perkosaan atau pembunuhan itu tidak ditayangkan secara teknis dianggap tidak sensasional dan tidak komersial, tapi justru sensasional itu merugikan masyarakat pemirsa, khususnya anak-anak," katanya. Menurut Sri, selain itu tayangan sinetron dan hiburan juga telah memberikan andil pada prilaku negatif anak. Cerita-cerita sinetron yang juga ditonton oleh anak-anak saat ini hanya memperlihatkan masalah seks. "Lihat saja, ceritanya kalau tidak rebutan pacar ya orangtuanya yang selingkuh. Apa tidak ada cerita lain? Mungkin sutradaranya itu tidak pernah membaca pengetahuan yang baik, sehingga tidak tahu bahwa karyanya merugikan masyarakat," katanya. Karena itu, katanya, dibutuhkan sutradara maupun penulis naskah yang berpendidikan bagus, sehingga karyanya dibingkai dalam kemasan yang mengandung nilai-nilai pendidikan bagi pemirsa. "Kok tidak ada cerita yang terinspirasi dari anak-anak yang berprestasi dalam berbagai kejuaraan, sehingga hal itu menggugah anak-anak lain untuk mengikuti jejaknya," katanya. Sementara aktivis Plan Indonesia yang membidangi hak-hak anak, Nanang A Chanan, mengemukakan bahwa selain kekerasan, saat ini muncul fenomena rebutan anak yang justru merugikan anak itu sendiri. "Sebut saja beberapa nama yang sedang rebutan anak, seperti Tamara dengan suaminya, Setiawan Djody dengan Sandy Harun, Zarimah Mirafzur dengan orang lain dan Yatti Octavia rebutan cucu dengan menantunya," katanya. Kasus-kasus perebutan pengasuhan itu bisa lebih parah kalau terjadi antara pasangan yang kawin campuran atau dengan warga asing. "Ujung-ujungnya anak mengalami tekanan atas berbagai konflik orangtua seperti itu. Karenanya butuh kesadaran semua pihak untuk mengembalikan hak-hak anak ini," kata mantan Sekretaris LPA Jatim itu. (*)

Copyright © ANTARA 2007