Jakarta (ANTARA News) - Departemen Ilmu Komunikasi FISIP Universitas Indonesia menganugerahkan gelar doktor dengan predikat sempurna (cumlaude) dengan Indeks Prestasi Kumulatif (IPK) 4.0 dari skala 4.0 kepada Sunarto, setelah mempertahankan disertasinya dalam Sidang Terbuka Senat Akademik Universitas Indonesia, di kampus UI, Depok, Kamis siang. "Saudara Doktor Sunarto adalah doktor langka di lingkungan Universitas Indonesia, "kata Promotor Prof. M. Alwi Dahlan, Ph.D pada upacara pelantikan Sunarto setelah berhasil mempertahankan disertasinya berjudul "Kekerasan Televisi Terhadap Wanita" dalam sidang yang dipimpin Prof. Dr. Harsono Suwardi, M.A. Disebut langka, sambungnya, karena di Departemen Ilmu Komunikasi Fisip UI belum pernah ada mahasiswa doktoral yang berhasil meraih IPK 4.0, alias semua nilai mata kuliah yang diujikan mendapat nilai sempurna (A). Harusnya ia lulus summa cumlaude, namun predikat itu tidak ada lagi di UI yang hanya membagi tiga katagori lulusannya: Cumlaude, Sangat Memuaskan, dan Memuaskan. Dalam sidang tersebut Sunarto berhasil menjawab semua sanggahan penguji yang terdiri dari Prof. Andre Hardjana, Ph.D; Prof. Dr. T.M. Soerjanto Poespowardojo; Prof. Alois Agus Nugroho, Ph.D, Dedy N. Hidayat, Ph.D, dan Francisia SSE Seda, Ph.D yang juga merangkap sebagai Ko-Promotor. Dalam disertasinya, Sunarto, yang juga dosen Jurusan Ilmu Komunikasi Fisip Universitas Diponegoro, Semarang Jateng, mengatakan fenomena kekerasan terhadap wanita secara aktual di Indonesia akhir-akhir ini meningkat, sebagaimana juga ditemui pada media massa lainnya. Menurut Sunarto, baik media cetak maupun media elektronik umumnya berisi kekerasan terhadap wanita. "Bahkan kondisi itu juga ditemui pada media anak-anak," kata Sunarto yang memfokuskan penelitiannya pada media televisi, khususnya tayangan untuk anak-anak. Acara anak-anak yang ia teliti adalah tayangan film animasi Doraemon, Crayon Shincan, dan P-Man dengan mengamati stasiun televisi yang direktor program acaranya dijabat seorang wanita. Dari penelitian itu , Sunato menemukan fakta bahwa teks film animasi anak-anak seluruhnya berisi kekerasan terhadap wanita dalam wujud kekerasan personal (psikologis, seksual, fungsional) dan kekerasan struktural (dominasi pria atas wanita, streotipe peran gender, domestikasi dan ekstensinya sebagai profesi, obyektifikasi seksualitas wanita). Meski demikian, kata Sunarto, film tersebut tetap ditayangkan karena menjadi komoditas potensial untuk mendapatkan rating, iklan, dan image yang baik. "Selain itu sebagai entitas politik kultural, film itu menjadi sarana edukasi strategis mengenai konstruksi relasi gender asimetris yang represif," katanya. Ia mengatakan proses naturalisasi kekerasan terhadap wanita melalui program siaran televisi terjadi dengan melibatkan struktur gender agen wanita dan stuktur industri televisi beserta stuktur sosial di belakangnya dalam relasi saling mempengaruhi (interplay) satu sama lain. Aplaus meriah segera bergema setelah Sunarto dinyatakan meraih gelar doktor dengan sempurna, dan ruangan tiba-tiba hening ketika Prof. Alwi Dahlan, mantan Menteri Penerangan, menguraikan perjalanan hidup Sunarto, anak pasangan Ngadiyono bin Karsodikromo (alm) seorang petani gurem dan tukang becak di Kudus, Jateng, semasa hidupnya, dan Ny. Inem Salamah, seorang penjual gado-gado yang berjuang keras mencari uang untuk menyekolahkan Sunarto. "Sunarto bahkan harus berkeliling ke berbagai instansi pemerintah untuk mendapatkan surat miskin agar bisa mendapat potongan SPP 50 persen dari nilai Rp50 ribu ketika kuliah di Universitas Diponegoro," kata Prof. Alwi dengan suara tersendat menahan haru. Sunarto menyelesaikan pendidikan dasar dan menengah di Kudus (1973-1985), dan pendidikan tinggi S-1 di Fisip Undip, dan S-2 serta S-3 di Departemen Ilmu Komunikasi FISIP UI.(*)
Editor: Heru Purwanto
Copyright © ANTARA 2007