Jakarta (ANTARA News) - Publik sejauh ini belum dapat memahami secara utuh mengapa narapidana narkoba masih bisa mengendalikan peredaran dan transaksi narkoba dari balik jeruji besi.

Kini publik telah dikejutkan dengan hal yang tak disangka-sangka yakni aksi brutal tahanan di Blok C Mako Brimob Polri yang membuat lima orang bhayangkara negara. Bhayangkara negara pun berduka.

Iptu Luar Biasa Anumerta Yudi Rospuji Siswanto dari Densus 88, Aipda Luar Biasa Anumerta Denny Setiadi dari Polda Metro Jaya, Brigadir Pol Luar Biasa Anumerta Fandy Setyo Nugroho dari Densus 88, Briptu Luar Biasa Anumerta Syukron Fadhli dari Densus 88, Briptu Luar Biasa Anumerta Wahyu Catur Pamungkas dari Densus 88, gugur dengan luka-luka di sekujur tubuh mereka.

Banyak pertanyaan yang menyembul mengapa prosedur standar pemeriksaan makanan terhadap para tahanan bisa berubah menjadi perebutan senjata petugas yang berujung rusuh antara tahanan dan polisi sejak Selasa (8/5) malam hingga lima bhayangkara negara gugur dan satu tahanan meninggal dunia.

Hingga Rabu (9/5) malam pukul 22.00 WIB, dikabarkan masih ada satu sandera dari polisi yang dikuasai oleh para tahanan.

Menjadi pertanyaan pula mengapa polisi masih melakukan negosiasi - disebutkan negosiasi tanpa batas waktu - apakah lima bhayangkara negara yang gugur itu tidak menjadi alasan kuat bagi polisi untuk mengambil tindakan tegas, tembak di tempat, terhadap para tahanan yang menyandera satu petugas kepolisian?

Mengapa mereka "seolah-olah" dibiarkan berlama-lama, lebih dari 1x24 jam, "menguasai" di salah satu tempat di Mako Brimob, yang merupakan objek vital negara dan simbol negara dalam penegakan hukum. Jelas-jelas para tahanan itu mengancam simbol negara yang semestinya mendapatkan pengamanan tingkat tinggi.

Kita masih ingat bahwa kurang dari sejam kelompok teroris yang beraksi meledakkan bom di kawasan Sarinah di Jalan Thamrin pada 14 Januari 2016 langsung ditembak mati, sejak ledakan pertama terjadi pada pukul 10.39 WIB di sebuah gerai kopi.

Mengapa ini di "sarang sendiri", terlebih di Mako Brimob yang merupakan markas komando pasukan elite di Polri, penumpasan terhadap aksi brutal sejumlah tahanan itu tidak segera dilakukan secara tuntas, sapu bersih.

Padahal hampir setiap hari di Mako Brimob dilakukan latihan menembak. Di tempat ini juga kerap diajarkan secara teori dan dilatih secara praktis penanganan terhadap ancaman dari teroris.

Aksi brutal sejumlah tahanan itu merupakan upaya nyata dari ancaman teroris, apalagi mereka merupakan tahanan teroris. Bahkan itu terjadi di tempat yang mendapat pengamanan super ketat.

Polisi tentu saja memiliki alasan kuat untuk menumpas mereka sesegera mungkin secara tuntas karena mereka telah nyata-nyata melakukan perlawanan terhadap petugas penegak hukum.

Apalagi Karopenmas Mabes Polri Brigjen Pol M Iqbal menggambarkan aksi brutal mereka sebagai bentuk pembangkangan dari tahanan teroris sehingga perlu dilakukan upaya penegakan hukum.

"Kalau betul terjadi tembak-menembak dan narapidana yang menguasai senjata maka harus ada pertama diatasi secara tuntas, saya kira karena sudah ada tembak-tembakan seperti ini, harus ada yang dihentikan," ujar Wakil Ketua DPR RI Fahri Hamzah menambahkan.

Baca juga: Mayoritas polisi korban kerusuhan Mako Brimob alami luka di leher

Baca juga: Polri selidiki senjata tajam narapidana teroris di tahanan Mako Brimob

Pertanyaan selanjutnya adalah apakah kasus kerusuhan sebelumnya sebagaimana pernah terjadi pada 10 November 2017 di tempat yang sama, juga tidak menjadi pertimbangan untuk mengambil langkah keras dan tegas agar kerusuhan serupa tak terjadi lagi di masa depan.

Kerusuhan pada 10 November itu juga dipicu hal kecil, ada tahanan yang tidak terima diperiksa dan memancing keributan. Menurut Karopenmas Divisi Humas Polri Brigjen Rikwanto ketika itu, seusai Shalat Jumat, tahanan dimasukkan ke sel masing-masing oleh tim Densus 88, sambil diperiksa, dan ditemukan empat telepon genggam.

Salah seorang tahanan tidak terima dengan penggeledahan tersebut, lalu memprovokasi tahanan lain, hingga menimbulkan kerusuhan dan merusak berbagai fasilitas di rutan tersebut.

Dari tiga blok sel tahanan di Mako Brimob, memang tidak semua tahanan terlibat dalam kerusuhan tersebut sehingga petugas dapat menyisir lebih pasti dalam melakukan tindakan tegas sesegera mungkin.


Luka sekujur tubuh

Diperoleh informasi bahwa dari hasil identifikasi dari Tim Inafis Bareskrim Polri dan Polda Metro Jaya atas lima jenazah anggota Polri adalah atas nama Fandi Setio Nugroho lahir tanggal 9 Desember 1988, bertugas sebagai penyidik Densus 88 dan tinggal di Bekasi.

Dari rumah duka di Bekasi, jenazah Fandi lalu dibawa ke kampung halamannya di Jalan Tugu II Nomor 30 Perum Korpri Kecamatan Magelang Utara, Magelang, Jawa Tengah, untuk dimakamkan.

Lalu, jenazah atas nama Syukron Fadhli, lahir tanggal 9 Oktober 1977, alamat di Komp TNI-AD III Cakung, Jakarta Timur. Syukron anak dari pasangan suami-istri, Trianto dan Umayah.

Wahyu Catur Pamungkas lahir 24 Mei 1994, alamat di Kamulyan Kwarasan RT002/02 Kabupaten Kebumen, Jawa Tengah.

Yudi Rospuji Siswanto lahir 19 Desember 1977, alamat di Perum Bukit Waringin Blok K4/03 Tajur Halang, Bogor, Jawa Barat. Jenazah Rospuji akan dibawa ke kampung halamannya di Brebes, Jawa Tengah, untuk dimakamkan.

Denny Setiadi lahir 15 Mei 1985, alamat di Jalan Kramat III Blok E Nomor 46 Kelurahan Cipayung, Jakarta Timur. Jenazah Denny Setiadi telah dimakamkan pada Rabu malam di Tempat Pemakaman Umum Setu di Jakarta Timur.

Karopenmas Mabes Polri menggambarkan terdapat berbagai luka akibat senjata tajam dan senjata api di sekujur tubuh jenazah, seperti di kepala, wajah, leher, dada, tangan hingga kaki.

Sedangkan satu tahanan teroris yang meninggal atas nama Beni Samsutrisno.

Baca juga: Polri bebaskan anggota disandera narapidana teroris

Baca juga: LPSK verifikasi jumlah korban kerusuhan Mako Brimob

Sementara satu polisi yang masih disandera oleh tahanan, adalah atas nama Bripka Iwan Sarjana.

Tak hanya keluarga besar Bhayangkara yang sangat berduka atas gugurnya anggota Polri tersebut.

Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) pun turut berduka, terutama atas gugurnya Yudi Rospuji Siswanto. Rospuji, komandan satuan Sabhara Polda Metro pernah menjadi BKO (Bawah Kendali Operasi) KPK dan ikut mengamankan dalam pelaksanaan sidang-sidang kasus KTP elektronik termasuk pengamanan saat persidangan mantan Ketua DPR Setya Novanto di pengadilan Tindak Pidana Korupsi Jakarta.

Juru Bicara KPK Febri Diansyah menyebutkan bahwa Rospuji sudah sekitar satu tahun ini membantu Biro Umum KPK, khususnya bagian pengamanan dalam mengamanankan kegiatan-kegiatan KPK. Pada Rabu siang, Tim Pengamanan KPK juga melayat ke RS Polri di Kramat Jati, Jakarta Timur.

Diharapkan polisi dapat menuntaskan masalah ini sesegera mungkin.

Pewarta: Budi Setiawanto
Editor: Gilang Galiartha
Copyright © ANTARA 2018