Keempatnya memasalahkan Pasal 4 ayat (1) dan ayat (2) frasa "bertempat tinggal" dan Pasal 3 ayat (1) UU 12/1985 ini.
"Salah satu putusan hari Rabu (9/5) adalah perkara pengujian UU PBB," ujar juru bicara MK Fajar Laksono di Jakarta, Rabu.
Pada sidang perdana Senin 15 Januari lalu keempat pemohon menilai ketentuan a quo telah menimbulkan kerugian pada hak konstitusional mereka sebagai WNI.
Para pemohon menyebut alasan mempunyai suatu hak dan memperoleh manfaat dijadikan landasan dikenakannya pajak pada UU 12/1985 sangat bertentangan dengan frasa "bertempat tinggal" yang di dalamnya menjamin adanya hak untuk memiliki dan memperoleh manfaat atas objek yang dimiliki seperti diatur UUD 1945.
Saat pembelian suatu objek bumi dan bangunan setiap orang atau badan sudah dikenakan BPHTB (Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan), maka menurut para Pemohon, seharusnya setiap tahun para pemohon tidak perlu lagi membayar PBB.
Pemohon kemudian memberikan contoh kasus banyak orang tua yang sudah pensiun karena tidak mampu lagi membayar PBB yang dibebankan kepadanya, terpaksa menjual objek bumi dan bangunan dan pindah ke lokasi pinggiran dengan harga lebih murah.
Menurut para pemohon, ketentuan a quo berpotensi "mengusir" mereka keluar dari tempat tinggal mereka sehingga jelas hal ini bertentangan dengan prinsip dasar hak asasi manusia sebagaimana diatur dalam Pasal 28H ayat (1) UUD 1945.
Oleh karena itu, dalam petitumnya, pemohon meminta MK menyatakan Pasal 4 ayat (1) UU No. 12/1985 tidak mempunyai kekuatan hukum dan bertentangan dengan UUD 1945.
Pemohon juga meminta MK mengubah UU a quo dengan menambahkan frasa "tempat tinggal atau tempat hunian sebagai objek yang tidak dikenakan pajak PBB".
Pewarta: Maria Rosari
Editor: Jafar M Sidik
Copyright © ANTARA 2018