Jakarta (ANTARA News) - Deputi Gubernur Senior Bank Indonesia Mirza Adityaswara menilai volatilitas kurs rupiah terhadap dolar AS saat ini tidak setinggi pada 2013 dan 2015.

"Volatilitas tidak seperti 2013 dan 2015 yang saat itu memang keras sekali," kata Mirza saat ditemui di Gedung Kemenko Perekonomian, Jakarta, Selasa.

Mirza menceritakan terjadinya pergerakan kurs di negara-negara berkembang pada 2013 ketika pelaku pasar merespons rencana kenaikan suku bunga acuan Bank Sentral AS (The Fed).

Hal serupa juga terjadi ketika Bank Sentral AS benar-benar menaikkan suku bunga acuan sehingga kurs kembali bergejolak pada 2015 karena aliran modal keluar dari negara-negara berkembang.

Mirza mengatakan kondisi saat ini berbeda dengan situasi pada periode 2013 dan 2015 karena kenaikan suku bunga acuan Bank Sentral AS sudah bisa diprediksi oleh pelaku pasar.

"Sekarang kenaikan suku bunga terus berlanjut. Volatilitas ini sementara saja dan dialami berbagai negara," katanya.

Ia menambahkan perlemahan kurs terhadap dolar AS ini tidak hanya terjadi di negara-negara maju dan berkembang, namun juga negara yang memiliki defisit neraca perdagangan barang dan jasa.

Sebelumnya, nilai tukar rupiah yang ditransaksikan antarbank di Jakarta, Selasa sore, bergerak melemah sebesar 50 poin menjadi Rp14.043 dibandingkan posisi sebelumnya Rp13.993 per dolar AS.

Kepala Riset Monex Investindo Futures Ariston Tjendra menambahkan kenaikan imbal hasil obligasi AS dan penguatan data ekonomi AS secara umum turut membuat mata uang dolar AS kembali terapresiasi.

Ia mengatakan pelaku pasar yang sedang mengantisipasi pidato Ketua The Fed Jerome Powell yang kemungkinan akan membahas kelanjutan dari kebijakan moneter turut memengaruhi pergerakan mata uang di negara berkembang.

Sementara itu, dalam kurs tengah Bank Indonesia (BI) pada Selasa (8/5) mencatat nilai tukar rupiah bergerak melemah ke posisi Rp14.036 dibandingkan posisi sebelumnya Rp13.956 per dolar AS.

Pewarta: Satyagraha
Editor: Heppy Ratna Sari
Copyright © ANTARA 2018