"Yang kita ketahui, lebih banyak akun yang tidak didaftarkan daripada yang terdaftar. Ini yang menjadi persoalan," ujar Abhan di Kantor Bawaslu, Jakarta, Senin.
Padahal, menurut dia, Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016 tentang Pilkada, serta Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu telah mengatur bahwa akun yang akan digunakan untuk kampanye harus didaftarkan ke penyelenggara pemilu.
Tidak hanya dilaporkan, produk hukum itu juga sebenarnya membatasi jumlah akun kampanye setiap kandidat.
"Kalau media mainstream sudah jelas penanganan pelanggarannya. Media cetak ke Dewan Pers dan media elektronik ke Komisi Penyiaran Indonesia. Media sosial ini yang jadi masalah," tutur dia.
Abhan menjelaskan media sosial saat ini memilki peran besar dalam mempengaruhi masyarakat, sehingga penggunaannya perlu diatur untuk menyebarkan nilai-nilai positif.
Oleh karena itu, ketika akun media sosial yang juga alat kampanye pemilu terindikasi melakukan pelanggaran, di antaranya menyebarkan ujaran kebencian atau berita bohong, maka ada dua pendekatan yang dapat digunakan untuk menangani masalah tersebut, kata Abhan.
"Bisa pendekatan hukum pidana pemilu, bisa juga dengan hukum pidana khusus, yaitu tindak pidana `cyber crime`. Tapi kan tidak semua dapat dijangkau dengan ketentuan di UU Pilkada dan UU Pemilu, makanya polisi bisa bergerak dengan berdasar pada UU ITE," terang Abhan.
Selain penindakan, ia mengatakan pihaknya bersama dengan KPU serta Kementerian Komunikasi dan Informatika saat ini juga terus berupaya mencegah tumbuhnya akun-akun media sosial yang dinilai dapat mengganggu pelaksanaan pesta demokrasi.
"Bawaslu sekarang punya kewenangan untuk `take down` akun yang menyebarkan ujaran kebencian. Sampai saat ini sudah ada puluhan akun yang kami minta kepada `Facebook` untuk dihentikan karena ada unsur tersebut," tutur Abhan.
Baca juga: Bawaslu minta Kemkominfo tutup akun medsos peserta pilkada
Pewarta: Agita Tarigan
Editor: Suryanto
Copyright © ANTARA 2018