Jakarta (ANTARA News) - Layaknya seni yang memberi pendar pencerahan bagi hilir mudik hidup serba tidak pasti, seorang blogger kondang asal negeri Paman Sam menawarkan "pembalikan nilai" ketika merespons anggapan bahwa segala hal yang positif itu bertuah dan bermanfaat manakala menggapai selaksa bahagia dan semesta sukses.
Siapa yang tidak ingin bahagia? Siapa yang tidak ingin sukses? Jawaban yang umum berlaku: berkatalah dan bertindaklah positif. Ternyata, anggapan itu keblinger, bahkan boleh divonis sebagai panduan dungu belaka.
Sebuah pembalikan nilai ditawarkan dan disodorkan oleh Mark Manson dalam buku berjudul The Subtle Art of Not Giving A F*ck, yang diterjemahkan dalam bahasa Indonesia bertajuk Sebuah Seni Untuk Bersikap Bodo Amat, Pendekatan yang Waras demi Menjalani Hidup yang Baik, diterbitkan Grasindo, Februari 2018.
Buku pertama Manson ini mampu menyabet predikat sebagai buku terlaris versi New York Times dan Globe and Mail. Bagi pembaca Tanah Air, penulis buku yang tinggal di New York itu hendak mengoreksi segala mimpi yang meninabobokan bahkan membangunkan tidur panjang umumnya kita saat berziarah dalam kehidupan ini.
"...tidak semua orang bisa menjadi luar biasa - ada para pemenang dan pecundang di masyarakat dan beberapa di antaranya tidak adil dan bukan akibat dari kesalahan Anda," begitu papar Mansor yang merangkum tiga seni bersikap masa bodoh.
Dengan mengambil pernyataan negatif, masa bodo bukan berarti menjadi acuh tak acuh, melainkan mengambil porsi nyaman saat menjadi berbeda. Seni pertama ini lantas dipertajam dengan dibantu tiga pertanyaan mendasar, yakni apa yang kita pedulikan? Apa yang kita pilih? Bagaimana cara agar kita bersikap masa bodoh menghadapi dan merespons segala hal yang memang tidak bermakna?
Seni kedua, Anda ditantang berani mengatakan "bodo amat" ketika menghadapi segala macam kesulitan, lantas memprioritaskan segala sesuatu yang lebih penting dari kesulitan itu. Beranilah menantang kesulitan dari masalah hidup kemudian mencari untuk menemukan segala sesuatu yang memang penting.
"Jika Anda tidak menemukan sesuatu yang penuh arti, maka perhatian Anda akan tercurah untuk hal-hal yang tanpa makna dan sembrono," tulis Manson yang hendak meninju anggapan keliru dari hidup serba positif tetapi membuat orang terlena dari hidup yang sarat tantangan baik suka maupun duka.
Bersikaplah serealistis mungkin, ini seni ketiga. Disadari atau tidak, umumnya orang lebih memilih banyak hal untuk diperhatikan, padahal hidup berjalan apa adanya, sementara banyak hal sesungguhnya sudah cukup membahagiakan.
Berangkat dan berbekal tiga seni bersikap masa bodoh itulah, Manson berselancar di ayunan turun naik ombak samudera kehidupan dengan menggugat cerita besar tentang kebahagiaan.
Kebahagiaan dengan huruf "K" besar merupakan kemampuan dan kepiawaian orang memecahkan masalah. Kebahagiaan dengan huruf "k" kecil lebih merupakan kealpaan dari sikap: punya atau tidak punya masalah.
Apapun masalah Anda, konsepnya sama saja yakni selesaikan masalah lalu berbahagialah. Sayangnyam bagi banyak orang, rasanya hidup tidak sesederhana itu, karena mereka terus menyangkal dan mengingkari kenyataan bahwa mereka memiliki masalah.
Di seberang kebahagiaan, Manson juga mengulas intipati dari nilai penderitaan. Dengan tangkas dan lugas, penulis mengisahkan kembali drama penderitaan yang terjadi pada 26 September 1944, yang dialami Letnan Dua Hiroo Onoda dari Angkatan Darat Kekaisaran Jepang.
Ia ditugaskan dan diberangkatkan ke sebuah pulau kecil bernama Lubang di Filipina. Tugasnya: memperlambat gerak pasukan Amerika Serikat. Onoda didaulat tidak boleh menyerah dengan alasan apa pun kepada tentara sekutu.
Jepang menyerah, dan negeri Matahari Terbit itu menarik semua tentaranya yang masih bersembunyi di seluruh Pasifik. Perintah ini tentu berlaku bagi Onoda. Hanya saja, ia menolak untuk mempercayai kebenaran informasi bahwa negerinya telah bertekuk lutut kepada tentara Sekutu.
Sekutu menyebar selebaran ke seluruh pelosok hutan Lubang di Filipina yang mengimbau agar seluruh tentara Jepang keluar dari hutan. Onoda tetap tidak mau percaya. Selama 30 tahun ia hanya mendekap perintah "jangan pernah menyerah".
Dikisahkan pula bagaimana berjuang hidup di hutan seorang diri, tanpa kawan, tanpa suplai makanan dan minuman. Onoda memandang penderitaan sebagai hal yang bermakna.
Onoda memberi pelajaran bahwa penderitaan tidak bisa ditolak, dan permasalahan tidak bisa diusir apalagi dihalau. Pertanyaan lanjutannya, "Bukan bagaimana saya menghentikan penderitaan? Tetapi, mengapa saya menderita, dan demi tujuan apa, saya menderita?"
Untuk mampu menerobos relung penderitaan, Manson memberi resep bahwa, "Anda selalu harus memilih serentak memikul tanggungjawab atas pilihan itu. Di sini, pembaca tertantang bersikap masa bodoh dengan menegaskan bahwa, "Kita bertanggungjawab atas hal-hal yang bukan merupakan kesalahan kita. Inilah bagian dari kehidupan."
Setelah menggali kebahagiaan dan penderitaan, Manson kemudian mengajak pembaca untuk sejenak bermenung dengan berbekal tiga pertanyaan kunci. Pertama, bagaimana sikap saya (melakukan) kekeliruan dan kesalahan? Kedua, apa artinya jika saya telah berbuat keliru? Ketiga, apakah kekeliruan akan menciptakan permasalahan yang lebih baik atau buruk bagi diri saya atau bagi orang lain?
Persis dihadapan tiga pertanyaan itulah, Manson menawarkan mantra kehidupan: Jangan hanya duduk-duduk. Lakukan sesuatu, maka jawaban akan muncul. "Jika kita mengikuti prinsip lakukan sesuatu maka kegagalan terasa tidaklah penting." Di sinilah titik tekan dari sikap masa bodoh. Tidak penting salah atau keliru, karena yang terpenting: lakukan sesuatu.
Tawaran bersikap masa bodo amat dari Manson mengerucut kepada kredo bahwa tindakan bukan semata efek dari motivasi untuk melangkah lebih lanjut. Tindakan, sejatinya, menjadi penyebab suatu motivasi.
Rumusnya satu saja: komitmen. Komitmen mengasah dan menguji fokus hidup Anda masing-masing, bukan hidup atau masa depan dari "gerombolan". Dengan begitu, secara perorangan, pembaca diajak bukan hanya bersikap masa bodoh melainkan mencari untuk menemukan komitmen hidup yang tidak jarang diwarnai gunjang-ganjing.(*)
Pewarta: AA Ariwibowo
Editor: AA Ariwibowo
Copyright © ANTARA 2018