Jakarta (ANTARA News) - Kejaksaan Agung (Kejakgung) akan menyelidiki dugaan penyimpangan penyerahan aset obligor atau pemegang saham pengendali (PSP) kepada Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN) dalam dua kasus pengucuran Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI). "Dalam kasus dugaan penyimpangan inilah diduga banyak sekali terjadi kerugian negara yang jumlahnya bahkan barangkali ratusan triliun," kata Sekretaris Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Khusus (Sesjampidsus), Kemas Yahya Rahman, di Jakarta, Rabu. Dengan hanya menyelidiki penyelesaian penyerahan aset, kata Kemas, maka Kejaksaan Agung tidak akan menyelidiki bank, Surat Keterangan Lunas (SKL), dan kebijakan pemerintah dalam mengucurkan BLBI. "Kami tidak akan menyebut nama bank dan tersangkanya karena masih dalam penyelidikan," kata Kemas. Dua kasus tersebut adalah penyerahan aset obligor atau PSP atas kucuran BLBI pada 1997 dan 1998. Kemas merinci pada 1998 terjadi kucuran BLBI sebesar Rp35 triliun. Dalam rangka pelaksanaan Master Set-tlement for Acquisition Agree-ment (MSAA) pada September 1998, menurut Kemas, jumlah Kewajiban Pemegan Saham (JKPS) atas kucuran tersebut meningkat menjadi Rp52,7 triliun. "Sayangnya perhitungan itu tidak dilakukan oleh auditor independen," katanya. Kemudian BPPN menindaklanjuti perhitungan itu dengan bantuan auditor independen dengan hasil yang tidak jauh berbeda, yaitu Rp52,6 triliun. Dengan begitu, kata Kemas, maka obligor diperkirakan akan dapat menyerahkan aset kepada negara. Namun demikian, pada 2006 perhitungan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) menyebutkan aset yang diserahkan kepada negara hanya Rp19 triliun, lebih sedikit dari nilai awal kucuran BLBI dan JKPS. "Kejaksaan mengambil sikap akan melakukan penyelidikan," katanya. Penyelidikan akan dipimpin oleh Jaksa Sriyono dan beberapa tim jaksa dari daerah. Kemudian kasus yang kedua terjadi setelah terjadi kucuran BLBI sebesar Rp37 triliun pada 1997. Berdasar audit BPK, dana BLBI membengkak menjadi Rp49,189 triliun, dengan JKPS sebesar Rp28,408 triliun setelah dikurangi aset bank penerima BLBI sebesar Rp18,850 triliun. Kemas mengatakan penyerahan aset senilai Rp28,408 triliun itu akan dibayar tunai Rp1 triliun dan penyerahan aset senilai Rp27,495 triliun. Namun demikian, setelah dilakukan perhitungan oleh auditor dari Price Waterhouse Cooper pada 2000, nilai aset hanya Rp1,441 triliun. Nilai aset itu mengalami kenaikan menjadi Rp1,819 triliun setelah dijual dan masih terdapat sisa aset sebesar Rp640 miliar. Dengan begitu, katanya, uang yang diterima BPPN hanya Rp3,459 triliun yang terdiri dari pembayaran tunai (Rp1 triliun), penjualan aset (Rp1,819 triliun), dan sisa aset (Rp640 miliar). Kemas mengatakan, penyelidikan kasus ini akan dipimpin oleh jaksa Urip Tri Gunawan dari Denpasar, Bali. Menurut Kemas, dua kasus tersebut adalah sebagian dari sejumlah kasus BLBI yang akan ditangani Kejagung. Penanganan kasus BLBI dilakukan oleh tim jaksa yang terdiri dari 35 orang. 35 jaksa itu terbagi menjadi dua tim, yaitu tim pemeriksa (25 orang) dan tim penindak (10 orang).(*)

Editor: Heru Purwanto
Copyright © ANTARA 2007