Bogor (ANTARA News) - Konsultasi Tingkat Tinggi tentang Islam "wasathiyah" (moderat) yang diikuti 100 ulama dan cendekiawan Muslim berpengaruh mancanegara di Bogor, Jawa Barat, selama tiga hari sejak Selasa (1/5), mengukuhkan posisi Indonesia sebagai negara berpenduduk mayoritas Muslim yang moderat.

Tak hanya itu, pertemuan Bogor yang diikuti 50 orang ulama dan cendekiawan Muslim Indonesia dan 50 orang mitra mereka dari sejumlah negara, seperti Mesir, Australia, China, Inggris, Kanada, dan Korea Selatan itu juga membuka peluang bagi menguatnya wawasan Islam moderat di tingkat global.

Utusan Khusus Presiden Joko Widodo untuk Dialog dan Kerja Sama Antaragama dan Peradaban Din Syamsuddin yang terlibat langsung dalam KTT ini telah pun menegaskan bahwa pertemuan para ulama dan cendekiawan mancanegara di Bogor itu akan menghasilkan apa yang disebutnya Pesan Bogor atau "Bogor Message".

Pesan Bogor yang diharapkan lahir dari KTT Bogor ini, menurut Din Syamsuddin, tak hanya menawarkan "wasathiyah Islam" sebagai solusi atas persoalan peradaban dunia tetapi sekaligus juga menjadi pengingat bagi umat Islam di negeri mana pun agar mereka tak melenceng dari Islam moderat.

"Jangan terjebak dalam radikalisme, fundamentalisme, ekstrimmisme. Tapi marilah kita kembali ke sebuah wawasan yang sentral dalam Islam," katanya seusai mendampingi Presiden Jokowi menerima kunjungan Imam Besar dan Grand Syeikh Al-Azhar Prof. Dr. Ahmad Muhammad Ath-Thayeb di Jakarta, Senin (30/4).

Apa yang diingatkan utusan khusus Presiden Joko Widodo yang juga mantan ketua umum PP Muhammadiyah ini sangat relevan dengan kondisi umat Islam di banyak negara di berbagai belahan dunia, terutama negara-negara berpenduduk mayoritas Muslim yang tak kunjung keluar dari pusaran konflik dan peperangan.

Mereka itu antara lain ada di Suriah yang terus merasakan kepahitan hidup akibat tercabik perang saudara; di Palestina yang selama puluhan tahun tak kenal lelah memperjuangkan kemerdekaannya melawan penjajah zionis Israel di tengah ketidakadilan dunia, maupun di Myanmar dalam kasus Rohingya.

Terhadap nasib kelompok minoritas Muslim Rohingya, para pemimpin dan ketua delegasi negara-negara anggota Liga Arab yang menghadiri Konferensi Tingkat Tinggi ke-29 mereka di Dhahran, Arab Saudi, pada 15 April lalu, telah secara khusus menyinggung masalah ini dalam deklarasi yang dihasilkan KTT tersebut.

Kutuk kekerasan
Para pemimpin Arab ini tidak hanya mengutuk aksi terorisme, kekerasan, dan berbagai pelanggaran hak asasi manusia terhadap kelompok minoritas Muslim Rohingya di Myanmar.

Mereka pun menyerukan masyarakat internasional untuk menjalankan kembali tanggung jawabnya dan bergerak secara ekfektif, diplomatis, hukum dan kemanusiaan guna menghentikan pelanggaran-pelanggaran ini.

Dalam KTT Ke-29 Liga Arab yang dipimpin Raja Arab Saudi Salman bin Abdulaziz Al Saud itu, para pemimpin Liga Arab meminta masyarakat internasional dapat memastikan Pemerintah Myanmar sebagai pihak yang bertanggung jawab penuh atas krisis Rohingya itu.

Akibat aksi kekerasan dan pelanggaran HAM yang dituduh banyak pihak dilakukan tentara di negara berpenduduk mayoritas beragama Buddha itu, sedikitnya 750.000 warga etnis Muslim Rohingya terpaksa meninggalkan rumah-rumah dan kampung halaman mereka.

Seperti dilaporkan media internasional, ratusan ribu warga etnis Rohingya yang telah menjadi korban kekejaman tentara Myanmar yang dituduh banyak pihak telah membunuh, memperkosa, dan membakar desa-desa mereka itu antara lain mengungsi ke Bangladesh.

Tidak sedikit di antara warga etnis Rohingya Muslim itu melarikan diri dengan perahu-perahu mereka ke laut lepas dan terdampar di beberapa negara di kawasan Asia Tenggara, termasuk Indonesia.

Di tengah pusaran konflik yang tak berkesudahan serta fenomena Islamophobia yang tak kunjung reda di Amerika Serikat dan Eropa Barat, tingkat literasi dan kemajuan sains dan teknologi di negara-negara berpenduduk mayoritas Muslim yang rendah menjadi pekerjaan rumah lain yang tak kalah peliknya.

Betapa tidak, selaku negara berpenduduk Muslim terbesar di dunia, Indonesia, misalnya, belum mampu menjadi tauladan bagi Dunia Islam dalam hal tingkat literasi dunia. Posisi Indonesia berada di urutan 60 atau kedua terbawah dari 61 negara yang pernah disurvei Universitas Negeri Central Connecticut (CCSU) AS.

Posisi Indonesia itu hanya setingkat lebih baik dari Bostswana yang berada di urutan paling bontot namun tingkat literasi negara berpenduduk terbesar keempat dunia setelah Cina, India dan Amerika Serikat (AS) itu kalah jauh dari Singapura (36) dan Thailand (59).

Merujuk pada hasil survei John W. Miller yang dipublikasi CCSU pada Maret 2016 berdasarkan hasil tes pencapaian literasi dalam Studi Literasi Membaca Internasional (PIRLS), Program Penilaian Pelajar Internasional (PISA) itu, negara berpenduduk mayoritas Muslim di kawasan Asia Tenggara yang tingkat literasinya lebih baik dari Thailand hanyalah Malaysia (53).

Ada pun 10 negara dengan tingkat literasi tertinggi di dunia yang diukur berdasarkan pada karakteristik prilaku literasi (populasi, koran, perpustakaan dan lama pendidikan) penduduk di negara-negara yang disurvei itu masih didominasi oleh negara-negara industri maju di kawasan Amerika dan Eropa.

Ke-10 negara itu adalah Finlandia, Norwegia, Islandia, Denmark, Swedia, Swiss, AS, Jerman, Latvia, dan Belanda. Padahal, jika mayoritas penduduk memiliki tingkat literasi yang rendah, maka mereka tidak hanya menambah beban negara.

Mereka yang jauh dari prilaku literasi ini bahkan berpotensi jatuh ke dalam kelompok warga yang menurut John W.Miller "miskin, terbelakang, kurang wawasan, kasar, brutal, dan mudah melanggar hak azasi manusia".

Di tengah kondisi keummatan yang demikian ini, pertemuan 100 orang ulama dan cendekiawan Muslim dunia di Bogor ini menghadirkan harapan bagi upaya tiada henti pemerintah dan berbagai kalangan di Dunia Islam untuk menjadikan Islam moderat solusi atas masalah dalam dirinya dan dunia.

Baca juga: Imam Besar Al-Azhar ingin Islam Wasathiyah yang tak sebatas konsep
Baca juga: Sepuluh prinsip Islam Wasathiyah, antara lain toleran, tidak esktrim

Pewarta: Rahmad Nasution
Editor: Aditia Maruli Radja
Copyright © ANTARA 2018