Jakarta (ANTARA News) - Di tengah kesibukan kenegaraannya, termasuk turut mendukung tim sepak bola PSSI pada Piala Asia, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono baru-baru ini mengeluarkan sebuah pernyataan menarik, namun kurang diperhatikan oleh umum. "Saya ingin menggarisbawahi bahwa jangan di antara kita (para pejabat tinggi, red) saling menyalahkan. Kalau ada yang saling menyalahkan, maka rakyat yang akan bingung," kata Yudhoyono ketika mengunjungi Pontianak, pekan lalu. Seperti biasa, SBY tidak pernah mau menyebutkan siapa pejabat yang dimaksud. Namun jika jeli, maka tidaklah sulit untuk menebak kemana peringatan itu ditujukan. Baru-baru ini, Menteri Kehutanan MS Ka`ban meminta Kapolri Jenderal Polisi Sutanto untuk mengevaluasi kinerja beberapa Kapolda yang berada di bawah kendalinya. Menurut Ka`ban, para Kapolda itu telah bertindak sembrono dalam memberantas pembalakan liar, sehingga hasilnya bukan menangkap dalangnya, tapi hanya pelaku lapangan dan kepala dinas kehutanan di beberapa daerah. "Bukan pembalak liar yang terkena, tapi kepala dinas yang ditangkap," kata Ka`ban, yang juga Ketua Umum DPP Partai Bulan Bintang (PBB) itu. Dengan nada tinggi politisi ini berkata, "Banyak operasi pemberantasan illegal logging yang berada di luar tujuan pokok operasional." Ka`ban memberi contoh, polisi di beberapa daerah bahkan menyita kayu-kayu yang justru berada di kawasan hutan yang sudah berizin. Bahkan Menteri ini tidak ragu untuk melemparkan tudingan, ada anggota Polri yang ingin memeras para pengusaha hutan dengan meminta imbalan atau sogokan. Karena anak buahnya dimarahi oleh instansi lain, Kapolri Sutanto tidak tinggal diam. "Kami konsisten (memberantas illegal logging)," kata Sutanto, yang bersama SBY meraih penghargaan tertinggi "Adi Makayasa", sebagai lulusan terbaik Akabri. Satu di antara beberapa Kapolda yang dituduh Menhut Ka`ban tidak bersikap profesional adalah Kapolda Riau, Brigjen Pol. Sutjiptadi. "Operasi jalan terus, walau jabatan saya menjadi taruhannya," kata Sutjiptadi dengan nada tegas. Namun, Kapolda Papua Inspektur Jenderal Pol. Max Donal Aer, tidak mengambil sikap konfrontatif terhadap Menhut, seperti rekannya. Ia hanya mengatakan kritik Departemen Kehutanan ini akan dijadikan masukan untuk memperbaiki jajarannya, jika ternyata ada anggota polisi yang tidak melaksanakan tugas sebagaimana mestinya. "Kalau masih ada yang kurang, ya akan kami benahi," kata Max Donal Aer dengan nada kalem. Untuk mengatasi "pertengkaran" yang terdengar hingga ke publik itu, akhirnya Ka`ban mendatangi Mabes Polri. Ia langsung berbicara dengan Sutanto dan para staf terdekatnya. Akhirnya mereka sepakat membuat tim bersama untuk mengaji operasi pemberantasan pembalakan liar. Keributan antarpejabat baru-baru ini juga terjadi antara Badan Intelejen Negara (BIN) dengan Markas Besar TNI. Masalah yang memicu adalah "tarian liar" yang ditampilkan 28 orang simpatisan kelompok separatis Republik Maluku Selatan (RMS). Bahkan "pertengkaran" mereka dilakukan di depan Presiden Yudhoyono di Ambon, 29 Juni 2007, saat berlangsungnya peringatan Hari Keluarga Nasional (Harganas). Sebelumnya, saat masih menjadi Mensesneg, Yusril Ihza Mahendra, juga sempat berpolemik dengan Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi(KPK) Taufiquerrahman Ruki, terkait pengadaan alat sadap oleh KPK. Akibat "serangan" Yusril itu, Ruki lantas mempertanyakan pengadaan alat sidik jari Departemen Hukum, saat menterinya Yusril. "Perbaiki tabiat" Pada masa pemerintahan Presiden Soeharto, kasus saling menyalahkan di antara para menteri dan pejabat tinggi juga pernah terjadi, walaupun jumlahnya tidak sebanyak sekarang. Saat Sarwono Kusumaatmadja menjadi menteri, mantan Sekjen DPP Golkar ini pernah menyalahkan instansi lain. Akibatnya, adik mantan Menlu Mochtar Kusumaatmadja ini beberapa hari kemudian dipanggil ke Bina Graha, tempat Soeharto sehari-hari menjalankan roda pemerintahan. "Saya diminta memperbaiki tabiat saya," kata Sarwono kepada para wartawan usai dipanggil Soeharto. Ketika perseteruan antara Yusril dengan Ruki terjadi, Yudhoyono memanggil mereka berdua, dan usai pertemuan Kepala Negara mengatakan kepada pers, "Saya sudah menyelesaikannya secara adat." Setelah itu, Yusril dan Ruki tidak pernah bertengkar lagi di depan umum, baik secara langsung maupun tidak langsung. Yudhoyono mengatakan perbedaan pendapat antar para pejabat tinggi atau instansi merupakan hal yang lazim, karena visi masing-masing lembaga pemerintah itu berbeda. "Bisa saja ada masalah, ada perbedaan penglihatan. Ada perbedaan persepsi, tapi yang proporsional," kata SBY saat mengomentari perseteruan itu. Bahkan Presiden kemudian berkata, "Kalau ada sesuatu kita selesaikan sebaik-baiknya, dengan sikap terbuka, kita cari solusinya." Yudhoyono tampaknya ingin memperlihatkan kepada Ka`ban, Sutanto dan pejabat pemerintah lain, bahwa ia mengetahui dan mengikuti secara mendalam keributan atau pertengkaran para pejabat itu. Namun, omongan saja mungkin tidak cukup. Jika SBY bisa memanggil Yusril dan Ruki pada masa lalu, maka langkah serupa juga diperlukan demi mengatasi "debat kusir" serupa pada masa mendatang. Supaya rakyat tidak bingung, maka para pejabat yang "perang mulut" di depan publik itu harus "dijewer" Kepala Negara, seperti pernah dilakukan Soeharto terhadap Sarwono. Saat ini, rakyat di berbagai daerah masih dipusingkan oleh berbagai beban, mulai dari harga minyak goreng yang masih tinggi, sulitnya mencari minyak tanah, listrik yang "byar pet", hingga pengangguran yang tak kunjung menurun. Kalau rakyat bertambah pusing karena harus melihat pertengkaran para pemimpinnya, seperti Ka`ban dan Sutanto, maka situasi ini tidak akan menguntungkan kepemimpinan Yudhoyono. (*)
Oleh Oleh Arnaz Ferial Firman
Copyright © ANTARA 2007