Banjarmasin (ANTARA News) - Kesimpulan awal hasil investigasi forensik bangkai badak jawa bernama Samson di Taman Nasional Ujung Kulon (TNUK) oleh tim dokter hewan WWF Indonesia dan Institut Pertanian Bogor (IPB) menunjukkan kematian bukan disebabkan penyakit infeksius atau perburuan liar, tetapi karena kolik usus.
"Dari hasil nekropsi, beberapa organ sudah dalam keadaan hancur akibat proses pembusukan, seperti ginjal dan paru-paru," kata ahli patologi Fakultas Kedokteran Hewan IPB Dr Drh Sri Estuningsih dalam keterangan tertulis diterima di Banjarmasin, Sabtu.
Tim dokter hewan telah mengambil beberapa sampel organ yang masih dinilai layak untuk diperiksa lebih lanjut di Laboratorium Histopatologi Divisi Patologi FKH IPB.
Kesimpulan awal, menurut Estu, penyebab kematian badak ini adalah kolik atau torsio usus, yaitu usus besar dan usus kecil terpuntir (torso), sehingga mengakibatkan kerusakan pada usus besar, hingga bakteri mikroflora usus menghasilkan racun dan kemudian menyebar ke seluruh tubuh badak.
Pada pengamatan luar, kondisi bangkai badak masih utuh, cula masih menempel pada kepala, tidak ada tanda-tanda luka pada tubuh.
Kondisi bangkai menunjukkan sudah terjadipembusukan yang ditandai dengan pengeluaran gas disertai busa dari celah kulit badak, kulit dan cula mudah terlepas.
Pada bagian mata, mulut, hidung, alat kelamin, dan anus berwarna merah, ditemukan juga telur lalat, belatung pada permukaan kulit di bagian kaki depan dan belakang.
Hasil pengamatan bagian dalam (hasil nekropsi) terdapat perubahan warna pada sebagian besar organ (ginjal, paru, hati, limpa, dan usus) yang telah mengalami pembusukan ditandai dengan konsistensi organ yang sudah lunak menyerupai bubur dan perubahan warna organ, serta terdapat gas.
Pada rongga tubuh thorax dan abdomen ditemukan cairan transudat yang cukup banyak. Pada usus ditemukan adanya bagian usus yang terpuntir antara usus halus dan usus besar yang menyebabkan terjadi rupture usus bagian sekum.
Isi usus sebagian terhambur mengenai dinding serosa usus yang ditandai adanya sisa makanan menempel pada serosa usus dan dinding badan (peritoneum), di dalam saluran pencernaan terdapat cacing berbentuk bulat yang ditemukan dalam jumlah banyak.
Tim juga tidak menemukan tanda adanya penyakit menular yang disebabkan oleh bakteri, virus atau parasit yang bersifat akut.
Project Leader WWF Indonesia drh Kurnia Khairani yang berkantor di Ujung Kulon menegaskan hal terpenting adalah kematian ini bukan disebabkan oleh perburuan badak, karena cula masih menempel pada tubuh badak.
"Kami mendorong pemerintah untuk segera merampungkan Strategi Konservasi Badak 2018-2023, dan fokus untuk mengembangkan populasi kedua badak jawa selain di Ujung Kulon, untuk mencegah kepunahan badak jawa disebabkan oleh penyakit epidemi yang masif, bencana alam seperti tsunami atau gempa bumi," ujar Kurnia pula.
Penyakit infeksius yang bersifat epidemik dikhawatirkan dapat menyebar secara cepat ke seluruh populasi badak jawa apabila kondisi hanya populasi tunggal, yaitu hanya ada di Ujung Kulon. Karenanya pengembangan populasi kedua harus segera menjadi prioritas strategi konservasi badak jawa ke depan.
Kematian Samson merupakan salah satu dari dinamika populasi badak jawa yang ada di dalam kawasan TNUK. Pembelajaran penting dari kematian Samson ini adalah penanganan kematian badak jawa berlangsung lebih cepat dan efisien dibanding sebelumnya.
Respons cepat ini tidak terlepas berkat adanya Unit Monitoring Badak dan Unit Ksehatan Badak yang menjadi tulang punggung pengelolaan populasi badak jawa di Ujung Kulon.
Proses koordinasi Balai TNUK bersama para mitra termasuk WWF Indonesia mampu merespons secara cepat proses penanganan mulai dari evakuasi, investigasi forensik yang melibatkan tenaga ahli dari pihak universitas, hingga proses publikasi sebagai bentuk pertanggungjawaban terhadap publik.
Baca juga: Tiga Ekor Badak Jawa Mati Selama 2010
Pewarta: Virna Puspa S
Editor: Ida Nurcahyani
Copyright © ANTARA 2018