Jakarta, 17/7 (ANTARA) - Pengamat pertanian Bustanul Arifin menilai pemerintah tidak serius mengembangkan produk rekayasa genetika atau bioteknologi di Indonesia sehingga perkembangannya hingga saat ini lamban. Dalam seminar bertajuk "Tinjauan Sosial Ekonomi dan Lingkungan Tanaman Produk Rekayasa Genetika" di Jakarta, Selasa, dia mengatakan, saat ini pengembangan produk rekayasa genetika di tanah air masih bersifat "buka-tutup" dan tidak fokus. "Pemerintah belum fokus mengembangkan produk rekayasa genetika dan masih bersifat `on-off` atau buka tutup," kata Guru Besar dari Universitas Lampung itu. Menurut dia, pengembangan produk rekayasa genetika bisa diterapkan untuk empat komoditas pangan utama yakni padi, jagung, gula dan kedelai. Dikatakannya, salah satu hal yang penting untuk mendukung pengembangan produk rekayasa genetika yakni dengan meningkatkan kegiatan penelitian. Indonesia, tambahnya, sangat membutuhkan terobosan perubahan teknologi untuk meningkatkan produksi pangan, terutama beras, dan pangan strategis lain jagung, kedelai, gula atau yang diusulkan secara resmi sebagai special products (SPs) dalam kerangka perundingan Organisasi Perdagangan Dunia (WTO). Oleh karena itu ujar peneliti Senior InterCAFE-IPB, Bogor itu, penelitian terhadap pengembangan produk bioteknologi seharusnya tidak dihalang-halangi apalagi untuk melakukan uji adaptasi yang penting guna mengetahui apakah komoditas tersebut memiliki dampak yang menguntungkan atau merugikan. Sementara itu Direktur PG Economics, Ltd, sebuah lembaga penelitian independen di Inggris, Graham Brokes mengatakan, untuk mengembangkan produk rekayasa genetika di Indonesia diperlukan regulasi dari pemerintah. Dalam studinya bertajuk "Tanaman Modifikasi Genetika: Dampak Sosial Ekonomi dan Lingkungan Sembilan Tahun Pertama 1996-2004", Brokes mengungkapkan, penggunaan teknologi rekayasa genetika mampu meningkatkan pendapatan petani. Pada 2004, tambahnya, pendapatan petani secara global mencapai 4,8 miliar dolar AS dan pada 2005 naik menjadi k5,6 milair dolar AS sementara selama 1996-2004 manfaat ekonomis yang diterima mencapai 27 miliar dolar AS. Lonjakan pendapatan petani di tahun 2005, menurut dia, lebih besar disumbang oleh perolehan petani yang menanam kacang kedelai yang toleran terhadap herbisida sebesar 2,281 miliar dolar AS, disusul petani yang menanam kapas biotek tahan insektisida sebanyak 1,7 miliar dolar AS. Selain itu juga dari petani yang menanam jagung dan kanola yang toleran herbisida dan tahan insektisida menyumbang perolehan angka pendapatan sebesar 628 juta dolar AS.(*)
Editor: Ruslan Burhani
Copyright © ANTARA 2007